Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerpen; Surat Cinta untuk Bunda

Selasa, 31 Mei 2011 Label:



*Cerpen ini meraih Juara II Lomba MSCB 2009 di IAIN Imamm Bonjol Padang dalam rangka ‘MEMPERINGATI HARI IBU’


*Juga telah dimuat di Harian Singgalang edisi Minggu, 26 Desember 2010





Cerpen


Oleh: Williya Meta





Surat Cinta untuk Bunda








Padang, Desember 2009


Assalamualaikum  Bunda....


            Ghumaisya yakin, suatu hari Bunda pasti akan bongkar semua isi kamarku dan merapikannya. Mungkin menyatukan semua barang-barang pribadiku ke dalam satu kardus atau membingkai foto terakhirku saat mendaki Merapi. Dan pasti Bunda juga akan menggulung kasurku seperti kebiasan Bunda saat aku tidak di rumah, karena memang kasur itu tak akan lagi kutempati. Tak akan pernah lagi! Itulah sebabnya sengaja kuletakkan surat ini di bawah kasur karena aku yakin Bunda pasti akan menemukannya juga. Ingin sekali rasanya kuberikan surat ini langsung ke tangan Bunda, tapi aku tak sanggup jika harus melihat Bunda menangis di hadapanku lagi. Sudah cukup Bunda menangis karena ulahku, aku tak ingin melihat air mata Bunda.  Setidaknya, tidak di hadapanku!



            Bunda sayang....


            Tak perlu lagi rasanya kuungkit semua derai cinta yang telah tercurah untukku sejak menghidup udara dunia ini. Bahkan,
tujuh bulan sebelum membuka mata di bumi ini, aku sudah banyak menyusahkan Bunda. Berat badanku yang kian hari kian bertambah membuat langkahmu kian lambat karena beratnya beban yang harus kau bawa kemanapun engkau pergi. Tapi aku anakmu yang tak tahu diri ini tak mau walau sejenak engkau tinggalkan. Aku terus menempel kuat dalam rahimmu bagaikan lintah penghisap darah.


            Ah, Bunda! Belum lagi ketika engkau bersusah payah berusaha mengejan kuat agar aku keluar dari rahim sunyimu. Tapi kenyataan pahit yang harus kau hadapi, kau gagal mengeluarkanku, hingga dokter memutuskan untuk membelah perutmu. Oh, betapa menyusahkannya aku! Sudahlah tujuh bulan aku memberati gerakmu, kini menjadi musabab terbelahnya perutmu.


Namun, tidak sudah sampai di situ pengorbananmu, Bunda. Mendiang Ayah bilang, engkau juga sangat jarang mengatupkan kelopak matamu saat aku tak bisa merasakan hangat dekapanmu, karena aku ditakdirkan harus mencari kehangatan lain dalam tabung oksigen. ‘Bayi Premature’ begitu kata dokter.


            Tuhan mendengarkan isak tangis dan jeritanmu dalam doa yang selalu bermunajat padaNya. Aku selamat. Dalam balutan cinta yang hangat kau besarkan aku. Akulah Ghumaisya kecil yang dulu engkau didik dengan huruf-huruf hijaiyah, angka-angka sederhana, dongeng Malin Kundang dan lainnya yang tak bisa kuungkap satu persatu. Hingga aku tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas. Bahkan saat aku mulai menapaki kaki di Sekolah Dasar, aku langsung meraih rangking pertama. Aku juga terpilih menjadi utusan Provinsi Sumatra Barat lomba  Tillawatil Qur’an tingkat anak-anak ke Bandung berkat huruf-huruf hijaiyah yang engkau ajarkan lengkap dengan iramanya yang selalu engkau senandungkan sebelum kutidur. Bunda.... Terima kasih atas cinta dan pengorbananmu.


            Beranjak pada masa pancaroba. Aku mulai mengenal lawan jenisku. Tapi ini beda, Fauzan namanya. Bunda masih ingatkan ketika Bunda menemukan surat beramplop merah muda dalam tasku? Lalu Bunda baca surat itu. Setelah itu, dengan lembut Bunda tanya aku. Bunda juga menasehati aku agar tidak berpacar-pacaran. Meski saat itu aku sangat dongkol, tapi aku turuti kata-katamu karena aku sayang padamu, Bunda! Aku lupakan dia. Toh  aku juga tidak terlalu cinta padanya.


             Tamat SMA, berkat cinta, doa, dan didikanmu aku lulus PMDK di Universitas yang sejak lama kuimpikan, Bandung. Dengan izinmu aku berangkat ke sana. Meski sebelum perpisahan itu, kau bercucuran air mata di belakangku. Aku tahu semua itu, Bunda. Aku tahu air matamu bukan karena beratnya biaya kuliahku yang akan kau keluarkan. Tapi karena kepergianku ke negeri orang. Tetapi, di depanku engkau seolah tak sudi menampakkan air matamu itu. Pastilah engkau tak mau memberatkan langkahku untuk mengejar masa depanku.


 Masih teringat pesanmu di sela detik keberangkatanku. ‘Jaga Shalat ya, Nak. Jilbabmu pertahankan. Bunda yakin anak Bunda pandai menjaga kepercayaan Bunda. Jangan dirusak ya amanah Bunda yang selama ini telah Bunda  beri, Sayang.’ Begitu ucapmu melepas kepergianku. Aku hanya bisa mengangguk dan melepaskan bulir-ulir kristal hangat dari sudut mataku. Hingga akhirnya engkau juga sudah tak kuasa lagi menahan tangismu dan terpaksa mengikuti alunan isakku. Kita tersedu sedan tatkala itu. Oh, aku mencintaimu, Bunda! Sungguh!


            Tahun pertama aku di Bandung, salinan nilai akademik yang kukirimkan padamu berhasil membuat seulas senyum di bibirmu, namun beribu syukur pada Sang Pencipta. Aku masih ingat Bunda, karena nilaiku bagus, Bunda mengirimkan sambal rendang kesukaanku.


Tapi itu tak berlangsung lama. Aku bukanlah anak yang bisa kau banggakan, Bunda. Aku tak pantas kau anggap anak lagi. Karena tahun kedua, aku mulai melanggar nasehatmu.


            Bunda, maafkan aku. Ini bukan mauku. Bukan aku yang memulai petaka ini, kau tahu itu kan, Bunda? Berawal saat pesta ulang tahun teman yang aku penuhi undangannya. Di sanalah temanku mencampurkan minumanku dengan barang haram itu. Aku tak sadarkan diri lagi setelah itu. Temankulah yang menggotongku bersama-sama ke tempat kontrakan. Esok paginya aku bangun. Namun, tak seperti biasanya. Aku tak lagi menuju kamar mandi untuk berwudhu terlebih dahulu, tapi langsung menggeledah dompetku, lalu mengambil kartu ATM yang dulu kau berikan padaku. Kemudian aku cepat berlari menuju kotak uang yang bisa melayani pengambilan uang 24 jam. Setelah menekan-nekan tombol kotak uang itu, sejumlah uang diulurkannya padaku. Dengan tangkas kuambil, kemudian kembali ke kontrakanku yang tak jauh dari kotak uang itu.


            Maafkan aku Bunda, uang yang engkau transfer untuk uang semester tahun ini kualihkan terlebih dahulu. Berbekal sedikit informasi dari teman sekamar, langsung kucari teman yang tadi malam mencampurkan minumanku dengan barang haram itu. Saat bertemu dengan lelaki kurus kering ‘sang pelaku’ aku tak langsung memukulnya, justru malah mengemis barang haram itu lagi. Mulai hari itu, bertambahlah langganannya. Aku!


            Uang bulanan yang kau kirim itu sudah tidak cukup lagi Bunda untuk memenuhi semua kebutuhanku. Ya, kebutuhanku! Aku terpaksa memberikan dusta padamu, Bunda. Uang bulanan sekarang sudah berubah menjadi uang mingguan. Alasanku, beli diktat ini lah, bayar seminar itu lah, dan alasan konyol yang aku rekayasa. Namun, cintamu yang tulus padaku, membuatmu selalu percaya pada kebohonganku. Apalagi ketika suaraku sudah sedikit memelas, atau berpura-pura sakit, maka dengan mudahnya kau kirimkan uang dua kali lipat dari jumlah yang kuminta. Aku tertawa senang waktu itu bisa membodohimu. (Maafkan anakmu yang durhaka ini, Bunda!)


            Hari demi hari aku semakin berkubang dalam nista. Dan jilbab yang dulu kau pesankan agar tetap melekat di kepala, sudah kuabaikan. “ Mana ada jungkist pakai jilbab?” begitu ledek teman-teman yang seperjuanganku, sesama jungkist. Karena termakan omongan mereka dan tidak mau diberi cap sebagai orang munafik, maka aku telanjangkan juga kepalaku.


Hari pertama aku masih merasa bersalah melanggar nasihatmu. Tapi hari selanjutnya, rasa bersalah itu semakin menghilang, terkikis karena terlalu banyaknya dosa yang kuukir. Oh Bunda.... maafkan anakmu. Maaf…!


            Sekarang kepala telanjang dan obat haram itu telah bergumul denganku. Setiap hari kuhabiskan waktu dengan nista-nista yang memilukan hatimu. Hingga suatu hari, saat aku bersama teman seperjuangan menggelar pesta sabu, menjadi awal (atau akhir?) cerita kelabu. Saat itu, aku yang paling bernafsu menghabiskan semua barang haram itu. Karena di telingaku hanya ada bisikan, jarang sekali ada barang gratis yang bisa dipakai sepuasnya. Maka dengan cepat dan tak mau kalah dengan temanku, aku tercatat sebagai ‘pemakai’ paling ganas malam itu.


Esoknya, aku ditemukan teman satu kontrakan tergeletak tak berdaya di kamar mandi. Dengan mulut berbuih putih mengenggam sabu yang belum sempat kuhabiskan. Aku digotong ke rumah sakit terdekat. Yang paling aku sesalkan, Mengapa temanku begitu lancang menggeledah handphone-ku dan meneleponmu? Herannya aku, mengapa kau masih tergopoh-gopoh mengejar anakmu ini jauh ke Bandung setelah mendapat kabar itu, Bunda? Aku tak habis pikir, kenapa kau masih menjenguk anakmu yang tak bisa memegang amanahmu lagi?


            Lembutnya hatimu memaafkan segala dosaku atas penghianatanku akan nasehatmu. Dengan tangan penuh kasih sayang, kau belai rambutku. Meski saat itu aku masih koma, tapi cintamu dapat kurasakan, menggema di sanubariku. Oh.... Bunda maafkan aku. Ampuni dosaku.


            Teramat pedih ketika aku dikeluarkan dari kampusku karena perkara itu. Satu kampus tahu aku over dosis dengan barang haram itu. Malu dengan itu, pihak kampus mencabut hakku sebagai mahasiswa atas tuduhan mencemarkan nama baik kampus. Aku tahu, saat Bunda membaca surat pemberitahuan itu, hati Bunda hancur berkeping-keping. Betapa tidak, anakmu ini yang dulu kau banggakan prestasinya kini tak ubah layaknya seonggok sampah tak berguna. Hancur sudah semua mimpimu yang aku janjikan kelak akan ku-haji-kan jika kaya nanti. Pupus sudah harapanmu menjadikanku anak shaleha. Bunda, ampuni aku!


            Tetapi, meski hancur berkeping hatimu, sikapmu tetap lembut padaku. Setelah aku sadar dari koma seminggu, selama itu juga mungkin kau tak tidur menungguku. Bahkan saat aku telah bisa kembali normal, tak ada satu kata kasar pun keluar dari mulutmu. Hanya beberapa nesehatmu yang membuatku menangis, menangis bukan karena pedihnya kata-kata, tapi karena menyesali semua dosaku padamu, pada Tuhanku.


            Sebelum meninggalkan rumah sakit, dokter dengan penuh hati-hati menyampaikan kabar buruk itu pada kita. Bayi prematur memang lemah daya tahan tubuhnya dan rentan terkena penyakit, apalagi jika menggunakan barang-barang yang merusak kesehatan. Dan aku yang dulu prematur, sekarang terjangkit kanker otak. Karena keaktifanku mengkonsumsi obat-obat itu, maka seluruh sel otakku cepat melemah hingga kanker otakku semakin parah dan tak bisa diobati lagi. Stadium empat!


            Air matamu jatuh berderai seketika mendengar vonis dokter itu. Bahkan dia juga mengatakan secara medis umurku takkan lebih dari enam bulan lagi. Meski sebagai manusia kita takkan pernah tahu kapan ajal akan menjemput, tapi hasil pantauan dokter pun tak dapat juga dipungkiri. Tentulah ia berkata setelah panjang eksperimennya.


Kau adalah wanita paling tegar yang pernah aku jumpa, Bunda. Bahkan dalam hatimu yang berkecamuk, kau tetap memberiku dukungan agar tetap optimis untuk sembuh. Berbagai macam obat herbal kau racik dengan tangan perkasamu demi kesembuhanku. Aku tahu betapa kau tak mau kehilanganku. Tak lupa pula kau tuntun aku mencari cinta-Nya kembali. Kau ajarkan lagi bagaimana menjadi wanita shaleha. Dan kau  giring aku pada taubatan nashuha.


            Allah, terimalah taubatku. Aku berjanji takkan mengulangi kebodohan ini lagi. Dan terimalah amal ibadah Bunda yang tak henti berkorban demi ku. Allahummaghfirli wa li walidayya warhamhuma kama robbayani shaghira.


            Itu sebabnya Bunda, hari ini kutulis surat ini untukmu. Bukan kuingin membuat derai air matamu berjatuhan saat membaca surat ini, tapi aku ingin kau tahu, AKU MENCINTAIMU, BUNDA! Maafkan segala kesalahanku. Andai saja kubisa memutar waktu, akan kubayar lagi segala kesalahan dan pengkhianatanku padamu. Takkan kubuat kau menangis, Bunda.


Tapi itu semua tak kan mungkin terjadi. Jika memang vonis dokter itu benar adanya, maka ikhlaskan kepergianku. Aku sama sekali tidak meninggalkanmu, Bunda. Tapi aku dan Ayah menunggumu di SurgaNya. Kepada Allah kutitipkan cinta tulusku padamu, Bunda. Aku mencintaimu. Doakan taubat anakmu diterima di sisi-Nya, Amin.


            Kau lihat kan Bunda? Sekarang aku telah memakai pakaian syar’i seperti yang kau ajarkan, yang diperintahkan Tuhan. Shalatku pun terjaga karena kau tak pernah lupa mengingatkanku. Bahkan ketika engkau tiada di rumah, aku tetap menjalankan shalat di awal waktu. Lantunan lafazh Al-qur’an pun selalu kita senandungkan bersama. Terima kasih Bunda atas cintamu. Bunda, kaulah si penjahit akhlak si penjahat yang telah koyak imannya.


            Terakhir Bunda.... sengaja aku bungkus surat ini dengan amplop merah muda karena kata Fauzan -teman kecilku yang dulu memberi surat cinta beramplop merah muda- “Merah muda itu lambang cinta.” Aku ingin kau tahu, Bunda, cintaku padamu memang tak sedalam lautan India seperti gombalan penyair itu. Tapi cintaku padamu hanya hanya seujung kuku, yang terus tumbuh dan tumbuh walau sekarang (tepatnya, setelah engkau baca surat ini) terpotong jarak dan waktu.





                                                       “Hapus air matamu, Bunda


Terimakasih atas semua cita, cinta, pengorbanan, dan harapan di kidung doamu, Bunda”





                                                                Salam cinta 


                                                                                                                                                        


                                                            Raudhatul Ghumaisya


                                       “ si penjahat yang telah kau jahit akhlaknya”








***Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam 09


Fakultas Syari’ah IAIN IB Padang


Bergiat di FLP Sumbar

















0 komentar:

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011