Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerpen; ALIM (Alternatif Masa Depan)

Selasa, 31 Mei 2011 Label:

Nominasi 2 Lomba Cerpen Tingkat Mahasiswa se-Indonesia
Cerpen oleh: Williya Meta


ALIM
(ALTERNATIF MASA DEPAN)

Mak Tiun mondar-mandir tak karuan. Napasnya menjadi sesak, jantungnya berdetak kencang. Mulutnya komat-kamit memilah-milah kata yang tepat untuk diutarakannya sebentar lagi. Sesekali diliriknya Alim yang sedang belajar di meja rotan reot di sudut ruangan. Cahaya Cimporong[1] yang meliuk-liuk diterpa angin malam membuat pantulan bayangan Mak Tiun ke dinding mengecil-besar. Alim merasa terganggu dengan bayangan itu. Ia menoleh ke belakang, lalu pertanya sopan.
”Ada apa, Mak? Dari tadi Lim lihat bayangan Amak mondar-mandir tak karuan?”
Mak Tiun tergagap. Wajahnya bak benih pucat. Namun secepat kilat ia berusaha menyelundupkan terkejut itu. Setelah menghela nafas panjang, ia lemparkan senyuman tulus pada si sulung sambil melangkah perlahan.
”Sedang apa kau, Lim?” Tanya Mak Tiun sambil menggamit bahu putranya.
”Ini, Mak, sedang mengulang pelajaran. Bukankah kemarin sudah Alim beritahu, minggu depan Lim diutus ke Jakarta menjadi perwakilan Sumatera Barat untuk lomba ’Akuntansi Cerdas’?” Alim balik bertanya sambil menatap dalam bola mata Mak Tiun.
Lagi-lagi Mak Tiun menghela nafas panjang. Tak sampai hatinya untuk menyampaikan niatnya semula. Namun, Mak Tiun melawan itu semua. Dikuatkannya segumpal darah itu untuk tetap kukuh menyampaikan rancangan semula.
”Amak mau bicara sebentar, Lim.”
”Oh, silahkan, Mak! Ah, Amak seperti mau bicara pada Pak Jorong[2] saja. Langsung saja, Mak!” jawab Alim sambil menarik kursi yang ada di bawah meja. Mak Tiun segera duduk di atasnya-di samping Alim.
“Tamat SMA ni kau carilah kerja, Lim! Tidak kasihankah kau melihat adik-adik jika sampai terkatung pula sekolahnya?” Suara parau Mak Tiun setengah mengamit, lebih seperti orang menahan tangis.
 ”Kalau hanya mengandalkan upah Amak, takkan cukup, Nak. Untuk makan saja kita sering mengharap belas kasihan Andai[3] Andih mau menghutangkan dagangannya. Untunglah kau selalu dapat beasiswa. Teringankan juga biaya hidup kita. Tapi si Ema? Berganti teman tiga kali pula dia di kelas tiga. Untuk biaya sekolah Ema saja habis sudah sepertiga upah Amak. Belum lagi tahun ajaran baru depan si Kazindar sudah harus masuk sekolah. Umurnya sudah sembilan tahun lebih. Ah, terbayangkah oleh kau, Lim? Bisa mati Amak meladang, mengharap gaji dari orang.” lanjut Mak Tiun dengan suara ditegas-tegaskan. Jauh dalam sanubarinya, ia pun tak sampai hati menyampaikan keluh-kesahnya pada si sulung. Namun apa mau dikata? Makin senja, makin tua. Makin renta. Bahkan kalau ia tetap bersikeras bekerja sendiri, semua bisa terlunta-lunta.
Alim hanya diam mendegarkan kata-kata Mak Tiun. Dia tak hendak menyalahkan pinta wanita tua itu, karena benar adanya yang diucapkannya. Sejak Sutan Bagindo-ayah Alim-meninggal dua tahun yang lalu, Mak Tiunlah yang mengambil alih peran-tokoh keduanya. Menjadi Ayah dan Amak dalam satu masa sekaligus. Setiap hari, Mak Tiun makan gaji ke ladang orang. Mulai dari mencangkul tanah untuk penanaman bibit tebu baru, sampai hanya mengelupaskan daun tebu yang telah mati-masai dipanggang terik matahati.
”Mak,” Alim akhirnya membuka suara setelah beberapa menit bungkam. ”Aku bukannya tak mau bekerja atau membiayai sekolah adik-adik. Tapi kasihan betul nasibku jika kepandaianku tak diasah, Mak. Bukankah Amak tahu, sejak kecil aku selalu juara satu. Apa tidak sebaiknya aku menyambung kuliah, Mak?” Alim memberanikan diri untuk menawar permintaan Mak Tiun.
Kini giliran Mak Tiun yang diam. Beliau menghela nafas panjang. Desahannya terdengar berulang-ulang. Matanya menerawang, menembus khayangan-barangkali!
”Mak tahu, Lim, otak kau pintar. Amak tak keberatan jika kau kuliah. Tapi kau tentu tahu Amak tak punya uang untuk mengantarmu ke tempat cetakan sarjana-sarjana itu”
”Jangan khawatir, Mak. Uang dari hasil lomba-lomba yang pernah kuikuti tak pernah kuambil. Semua kusimpan di Bank. Jumlahnya cukuplah untuk setahun kuliah. Sementara kuliah, aku akan cari kerja sampingan. Dari sana mungkin bisa sedikit kubantu pendidikan adik-adik. Aku janji takkan minta uang sepeserpun dari Amak jika sudah kuliah nanti.” Alim berusaha meyakinkan Mak Tiun. Didekatinya wanita ringkih berkulit hangus itu kemudian ia gamit tangan renta Mak Tiun. Kening Alim melekat pada jemari keriput tersebut.
Setetes air dilahirkan oleh mata Mak Tiur. Dari setetes itu kemudin beranak pinak (atau lebih pantas dikatakan adik-beradik, susul-menyusul). Ia tersedu-sedan. Dipeluknya tubuh gempal sulungnya.
”Maafkan Amak, Lim. Amak tak bisa berbuat banyak untuk pendidikanmu. Amak benar-benar tak berguna!” sesal beliau dengan nada yang sudah tak menentu karena terkalang buntalan tangis yang menggondok.
Alim menghapus air mata wanita yang delapan belas tahun lalu mati-matian mengejan untuk mengeluarkannya dari rahim yang sunyi itu.
”Sudahlah, Mak. Tidak boleh berkata seperti itu. Alim janji, Mak. Tamat kuliah nanti Alim akan dapat pekerjaan yang layak. Amak tak usah lagi makan gaji ke parak[4]. Anak bujang Mak ini takkan pernah mengecewakan Amak.” Janji Alim.
***
Malam semakin menua. Jangkrik semakin keras bunyinya. Alim bersiap menyudahi petualangannya menghitung uang yang tak ada wujudnya.
Sebelum berdiri dari bangku, Alim menoleh ke arah ruang ganda (siang jadi ruang tamu, malam jadi ruang tempat terkaparnya Mak Tiun dan anak-anaknya). Dilihatnya dua adiknya menggeliat, berusaha merangkul amaknya. Di sebelah kanan Mak Tiun ada Ema, di kiri ada Kazindar. Sedangkan biasanya, Alim tidur di sebelah si bungsu itu.
Ah, Ema! Ia sudah kelas tiga SMP sekarang. Tahun besok bolehlah dia mengecap pendidikan sekolah atas. Kazindar pun demikian. Umurnya sudah hampir kadarluarsa jika tak segera disekolahkan. Tarbayang di pelupuk matanya betapa susahnya Mak Tiun mengumpulkan uang jika ia tak segera bekerja, atau-paling tidak-berhenti jadi benalu pada pundi-pundi keringat amaknya.
Serta merta sesuatu terbesit di dada Alim. Dengan gerakan lebih cepat dari biasa, ia mengambil buku catatan akuntansi yang baru saja ditutupnya. Ia membuka halaman paling belakang. Didekatkannya ujung pena ke atas kertas itu, menitikkan secuil dawat buram. Ujung pena itu diangkatnya lagi, kemudian dititikkan lagi. Sejatinya, ini bukan masalah titik-menitik. Tapi Alim tengah berpikir keras membuat daftar perencaan masa depannya.
Lampu neon 45 watt bersinar di otak Alim. Sebuah ide muncul. Dengan segera Alim menggoreskan pena.

Sarjana pertanian = ladang = Ayah
(Jika boleh diartikan, kurang lebih begini redaksinya)

Jika ia kuliah mengambil jurusan pertanian, kelak khatam menyandang gelar sarjana pertanian. Jika sudah begitu, maka tempat bekerjanya tak jauh-jauh dari ladang. Seperti halnya ayahnya sendiri.
Alim mengangguk-angguk. Matanya terpejam lagi mencoba mencari lampu neon lain.  Tak lama kemudian, matanya terbuka kencang. Dengan tergesa-gesa ia tuliskan.
Sarjana ekonomi = Bank/Kantor Perpajakan = ?

Setelah berhasil menyandang gelar sarjana ekonomi, bekerja di lembaga keuangan, biasanya. Seperti Bank atau kantor perpajakan. Ini tentunya karena pelajaran yang sangat bisa diandalkannya adalah akuntansi. Hampir seluruh kejuaraan akuntansi yang diikutinya tak pernah pulang dengan tangan hampa. Minimal menyeret rangking tiga.
Namun, ia tak punya tokoh panutan yang dapat dicontoh dalam bidang ini. Mungkin nanti ia bisa pikirkan lagi (atau mungkin ia temukan) siapa yang bisa menjadi tokoh inspirasinya.
Tak perlu menghabiskan banyak waktu, hitungan detik sebuah ide singgah lagi di otak remaja delapan belasan itu. Secepat kilat ia tuliskan:

Sarjana Pendidikan = guru = Pak Huda.
(Tak perlu lagi kita tafsirkan goresan dawat buram Alim yang terakhir ini, kawan!)

Pikiran Alim melayang pada guru baru yang mengajar mata pelajaran  kewarganegaraan. Kehadiran Pak Huda di SMA 1 Negeri Lawang-Matur belum cukup bilangan jari dihitung bulanan. Tapi, beliau dapat menghipnotis semua siswa yang ada di sana. Orasi Pak Huda yang sangat memukau membuat siapa saja yang mendengarkan penjelasannya merasa terbakar api semangat yang menyala-nyala.
Bagi Alim, tak ada satu mata pelajaran pun yang lebih menyenangkan dari akuntansi. Namun setelah Pak Huda masuk ke kelas mereka menggantikan posisi Buk Khadijah yang telah renta, seketika kewarganegaraan menyarbet polling sejajar dengan akuntansi, di hati Alim.
Ia tak hanya menerangkan bab demi bab kewarganegaraan yang telah berurutan dalam butiran materi yang telah ditentukan. Tapi juga me-review semua pelajaran dari dasar-seperti penjelasan pancasila dan UUD ’45-sehingga semua muridnya benar-benar paham dengan kewarganegaraan, sejatinya.
Pak Huda, menjadi inspirator bagi Alim. Ada kemungkinan Alim akan melanjutkan bangku perkuliahan dan khatam menyandang gelar sarjana pendidikan.
Alim membaca kembali tiga alternatif masa depan yang akan dilakoninya kelak. Sekali. Dua kali. Berulang-ulang kali. Hingga akhirnya bayangan hitam menyapa: Tak ingatkah kau, Lim, Ayahmu jadi bangkai di ladang orang? Hingga dipasung dalam tanah pun, kakinya tak juga ditemukan. Sudah pasti kandiak rimbo[5] itu yang membuang kaki Sutan Bagindo  ke perutnya.
”Tidak! Kuharamkan darah ini ke ladang lagi!” batin Alim bersikeras.
Dengan sigap, Alim menghapus ide pertama yang telah ia tuliskan. Kini, Alim tersenyum senang. Ditutupnya buku akutansi yang menjadi tempat dokumentasi tiga alternatif perencanaan masa depan, dengan satu butir yang telah dihitamkannya.
***
Setelah mendapat restu ikhlas dari Mak Tiun dan setangkai doa dari masing-masing adiknya, maka berangkatlah ia ke sekolah seperti biasa. Bedanya, hari itu ia tak pulang ke rumah usai sekolah, namun menginap di tempat Pak Huda seperti perintah Kepala Sekolah agar esok ia tak ketinggalan burung besi mengudara ke Jakarta. Di kota metropolitan itulah nanti ia akan dikarantina beserta para peserta ’Akuntansi Cerdas’ lainnya. (Kawan, tak usah pula kutuliskan kisah haru-biru Mak Tiun melepas bujang sulungnya).
Mengapa harus di rumah Pak Huda? Itu karena, selain rumah Pak Huda paling dekat dari sekolah di antara rumah guru lainnya, juga karena dia memiliki sepeda motor yang bisa mengantarkannya besok pagi ke bandara. Sepeda motor boleh dikatakan masih barang langka di kampung Lawang.
Usai sekolah, Alim menemui Pak Huda yang sedang menjaga meja piket. Ia asyik menatap layar selulernya.
”Pak!” sapa Alim bersahaja.
Pak Huda terperanjat kaget. ”Ah, kau rupanya, Lim. Kupikir siapa,” balasnya sambil mengurut-urut dada. ”Sudah habis mata pelajaranmu hari ini?” tanya Pak Huda kemudian.
Alim mengangguk sambil tersenyum senang. Tak dapat dilukiskan bagaimana perasaannya saat itu bisa seharian (sebelum berangkat ke Jakarta) bersama tokoh yang menjadi inspirasinya.
”Duduklah dulu di sini sebentar!” ujar Pak Huda sambil menarikkan kursi untuk Alim. Alim girang bukan kepalang. Dipersilahkan duduk oleh idolanya.  Alim segera duduk di samping Pak Huda. ”Sebenarnya ini sudah bukan giliran Bapak menjaga meja piket. Tapi tak seharusnya meja piket ini ditinggal begitu saja. Bapak harus bertanggungjawab sampai ada guru piket lain yang menggantikan Bapak di sini. Kau tak keberatan bukan ikut menunggu di sini?” lanjut Pak Huda lagi.
Alim mengangguk. Dalam hatinya, beribu-ribu jempol dilayangkannya untuk sang idola. Betapa tidak? Di matanya, Pak Huda bukan saja guru yang menyenangkan, tapi juga guru yang menjunjung tinggi tanggung jawab. Sungguh mengesankan!
Tak lama berselang, seorang lelaki tua berpakaian compang-camping memikul karung beras melangkah menuju meja piket. Pak Huda segera berdiri dan melangkah cepat guna menyonsong pengemis itu. Pak Huda memasukkan tangannya ke saku celana.
Ah, baik betul Pak Huda ini. Sekarang aku yakin ingin jadi guru seperti dia. Batin Alim sambil mengambangkan senyum, entah untuk yang keberapa kali.
Namun, tanpa di duga, tangan Pak Huda keluar saku tanpa ada selular yang tadi di genggamnya. Tak juga berisi lembaran rupiah. Hanya tangan kosong yang kemudian membentuk sebuah tinju lalu menegakkan telunjuk. Telunjuk itu diacungkannya pada lelaki tua.
”Pergi! Pergi sana! Dasar pengemis! Mengganggu pemandangan saja!” hardik Pak Huda.
Alim terbelalak. Ia sungguh tak menyangka Pak Huda tega mengusir pengemis itu. Batin Alim mulai pro dan kontra. Alim tak dapat percaya, seorang pendidik yang seharusnya memberikan pengajaran baik pada muridnya (tentulah sebelum mengajar orang lain, ajari dulu diri sendiri) malah melakukan hal yang hina.
Ah, bukankah mulut Pak Huda sendiri yyang berkoar-koar yang menjelaskan butir-butir pancasila di awal pertemuan mereka? Lalu, itukah yang dimaksudnya ’kemanusiaan yang adil dan beradap’? Beradapkah namanya mengkotak-kotakkan manusia pengemis dengan lainnya?
***
”Rajin betul kau, Lim” sapa Pak Huda saat melihat Alim mengutak-atik kalkulatornya, menjumlahkan uang perusahaan yang dibuat-buat namanya.
Alim menoleh sambil tersenyum. ”Doakan saya diberi kemudahan dalam lomba nanti ya Pak.” kata Alim singkat kemudian melanjutkan tarian jemarinya.
”Pasti itu! Bapak bangga padamu. Baiklah, lanjutkan perjuanganmu! Bapak tidur dulu. Kalau nanti kau mau tidur, jangan lupa matikan lampu!” petuah Pak Huda sekenanya. Lalu ia menghamburkan diri ke tempat tidur.
Sebelum memejamkan mata, Pak Huda menyempatkan diri untuk mengotak-atik selulernya, kemudian memasukkan headset ke tampuk telinganya. Tak lama berselang, terlelaplah ia.
Sunyi malam semakin membuncah. Mata Alim pun sekarang sudah memerah. Mungkin karena terlalu lama belajar. Ia segera menutup buku akuntansinya. Alim mengambil segelas air dan meneguknya sambil menghidupkan televisi.
Ah, berita malam! Sungut Alim dalam hati. “Jayus Timbunan lagi, Jayus Timbunan lagi! Tidak bosan apa membahas kasus makelar pajak ini?” kata Alim pelan. Ia takut suaranya membangunkan Pak Huda.
Pak Huda menggeliat. Darah Alim pun tersirap. Ia segera mematikan televisi. Tak enak juga hatinya. Sudahlah diberi tumpangan, jangan sampai mengganggu ketenangan.
Alim segera mematikan lampu, kemudian merangkak menuju bantal di sebelah Pak Huda dalam gelap. Setelah merebahkan tubuh, segera ia pejamkan mata. Beberapa menit setelah itu, matanya nyalang kembali. Ia belum bisa tidur. Didengarnya dengkuran Pak Huda yang amat kerasnya.
Alim bangkit dan menyalakan lampu kembali. Ia menatap sekeliling kamar Pak Huda. Tiba-tiba matanya menangkap headset yang telah lepas dari tampuk telinga Pak Huda karena terlalu sering geliatnya.
Iseng saja, Alim mengambil selular berlayar lebar itu. Ia menekan tombol tengahnya (asal tekan, tentunya). Mata Alim terbelalak. Yang dilihatnya, tiga orang telanjang (pantasnya binatang jalang) sedang mengerang-erang senang.
Alim segera meletakkan selular itu ke asalnya. Ia langsung mematikan lampu, lalu memejam mata secara paksa.
***
Pengemis! Binatang jalan!
”Ah, tak pantaslah aku mengidolakannya!” geram Alim ketika mengudara. ”Pantas saja negeri ini sulit untuk maju! Banyak orang yang mengerti pancasila, tamat pendidikan, tapi tak memakai ilmunya.” lanjutnya.
”Mending jadi orang yang tak usah tahu banyak tentang pendidikan. Jadi tak banyak pula dosa jika tak mengamalkan.” aliran sesat itu meracuni pikiran Alim, entah dari mana.
Alim kembali membuka halaman belakang catatan akuntansinya. Ia mencoret alternatif ketiga. Kemudian mengitamkan ’tanda tanya’ di daftar alternatif perencanaan masa depan kedua lalu menuliskan dua suku kata, seperti seuntai nama.
Jayus Timbunan
Ia tersenyum gamang. Sekeping hatinya, entah dari sudut mana meneriakkan agar ia mengapus nama itu. Tapi sekeping hati yang lain tak berteriak apa-apa. Ia hanya bekerja sama dengan otak untuk memutar ulang remakan amak dan dua adiknya dengan adegan yang jauh lebih memilukan. Menampilkan Mak Tiun dengan baju compang-camping lagi kumuh berjalan terseok-seok menjinjing ember hijau kecil berisi uang logam, derma dari orang-orang. Sementara kedua adiknya berguling-guling memegang perut kempis menahan lapar yang teramat dalam.
Alim menutup buku akuntansi itu dengan cepat. Rekaman memilukan itu sirna seketika.
Aku harus kaya, bagaimanapun caranya! Lirihnya dalam hati. Dibukanya kembali buku catatan akuntansi. Namun, bukan halaman belakang lagi. Ia mulai serius mengulang pelajaran sementara burung besi sedang mengudara. Ia belajar bukan hanya untuk mematangkan persiapannya untuk menghadapi lomba, tapi juga untuk mempermatang kasiapannya menuju tokoh panutannya.*** Lubuk Lintah, 23 November 2010



[1] Lampu minyak. Cahayanya berupa api
[2] Bapak Kepala Desa
[3] Nenek (Bahasa Minang yang sering digunakan oleh orang pedalaman).
[4] Ladang
[5] Babi hutan


***Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam A 09
Fakultas Syari’ah IAIN IB Padang
Bergiat di FLP Sumbar

0 komentar:

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011