Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerita Kampung Gadis Pandir

Rabu, 01 Juni 2011 Label:


(Salah Satu Cerpen yang Lolos dalam Antologi cerpen "Air Mata Sunyi" FLP Sumbar 2011)
Cerpen oleh: Williya Meta

Cerita Kampung Gadis Pandir 

Kawan, jika engkau punya waktu senggang lagi luang, maka bertandanglah ke kampung kami barang sepetang. Kampung kami yang sudah masyhur dengan nama ‘Surga Para Layang’ tak hanya akan memanjakan engkau dengan pesona keindahan Danau Maninjau ditilik dari ketinggian Puncak Lawang. Memang kebanyakan orang yang datang berniat untuk mengudara dengan parasut layang dari ketinggian, melayang, lantas mendarat di tingginya ilalang (biasanya, tatkala pelayang mendarat, pasti terjerengkang).  Namun lebih dari itu, kampung kami  bisa kawan jadikan acuan, untuk mendapatkan ide menggudang. Tidak percayakah, Kawan? Tenang! Sebentar lagi akan kubuktikan bahwa kabar dariku bukan bualan.
Kusuguhkan untukmu, Kawan, sebuah cerita unik dari sebuah keluarga di Rumah Gadang[1]. Bukan keluarga terpandang. Sekali lagi bukan, Kawan! Kalau boleh kukatakan, mereka adalah sebuah keluarga pencetak gadis pandir terbanyak di negeri Lawang. Mengapa ‘gadis pandir’? Pastilah itu yang Kawan pertanyakan, bukan? Namun itulah kenyataan yang oleh otak cermerlang sekalipun sulit termakan. Setiap cairan yang bersarang dalam rahim tali keturunan keluarga itu, selalu berkelamin perempuan.
***
 Alkisah, tatkala amakku masih gadis, Rosnidar yang umurnya hanya terpaut dua tahun lebih tua daripada amak, menikah dengan Sulaiman. Pernikahan ini sontak menjadi buah bibir masyarakat. Mereka bak bintang film masa kini yang beritanya dengan cepat merambat  ke seluruh penjuru umat. Betapa tidak, mereka benar-benar pasangan yang tepat.
“Cocok benar si Roih bersanding dengan si Leman” kata tamu undangan. Kebanyakan orang-orang kampung kami memanggilnya dengan kejamnya, ‘si Roih’! Padahal nama sesungguhnya sungguh menawan, Kawan! Ros, Rosnidar!
“Ya. Tak sia-sia Tuhan menciptakan umatnya berpasang-pasangan. Leman menemukan pasangan yang sepadan. Si Roih mancung giginya, si Leman bokong[2] dahinya. Lagi pula mata mereka setali tiga uang. Juling satu dan lainnya. Aduhai, betapa mereka bak pinang dibelah dua, yang satu busuk dan yang satu lagi berulat. Haha…” seringai mereka penuh nistanya. (Bayangkan, Kawan, kalau percakapan ini didengar oleh mempelai atau-paling tidak oleh- karib kerabatnya)
Tetapi, di dalam naungan pelaminan berpayet sederhana, Rosnidar dan Sulaiman tampak bahagia dan saling menggenggam tangan. Sesekali Sulaiman mencuri tatap di sudut mata Rosnidar. Ketika Rosnidar menoleh pelan karena terhalang beratnya suntiang[3] yang bertengger di kepalanya, Sulaiman dengan cepat menolehkan wajahnya melihat tetamu yang menyuap santapan. Namun, kulit gosong Sulaiman yang semakin kelabu manakala menahan malu menjadi dalih kuat bagi Rosnidar bahwa Sulaiman baru saja curi-curi pandang padanya. Dengan mesra, Rosnidar mencubit pipi suaminya sambil tersenyum manja. Gigi Rosnidar yang pada dasarnya telah mancung, menjadi semakin ke ujung membuncah sudut bibirnya.
Semua yang melihat adegan itu tertawa terbahak-bahak. Amakku juga, akunya. Rosnidar dan Sulaiman pun semakin girang. Hanya saja mereka berbeda pemikiran. Tetamu sibuk terbahak menertawakan mempelai, sementara mempelai berfikir bahwa semua tetamu cemburu melihat kemesraan mereka.
Ah, memang sempurna skenario Tuhan. Coba Kawan bayangkan bagaimana  jadinya jika Rosnidar menikah dengan suami yang rupawan. Tentu tak akan begini ceritanya. Bisa jadi, yang hadir di pesta pernikahan mereka malah bersungut-sungut dan berkata, “Alangkah tidak tahu dirinya Rosnidar. Cari suami yang gagah pula. Ditinggal waktu bunting baru tahu rasa.” Atau mungkin begini, “Malang betul nasib si Pulan yang menikah dengan Rosnidar. Lelaki gagah itu pasti kena gasiang tangkurak[4].”
Hati Rosnidar tentu akan kelam melihat para undangan bermuka muram, sibuk menerka-nerka aibnya. Namun, Tuhan menakdirkannya menjadi pasangan Sulaiman. Yang dilihatnya, semua undangan datang dengan senyum (kadang tawa) mengambang. Tentulah bertambah khidmad acara sakral itu. Semua orang (katakanlah begitu) bersuka cita. 
Ada satu lagi yang membuat pernikahan ini semakin sempurna hajatnya. Adalah Rosnidar berasal dari keluarga pandir. Amaknya pandir, mendiang ayahnya juga pandir, kakek pandir, nenek pandir, dia sendiri pandir, adik semata wayang-jika hidup mungkin juga-pandir, semua pandir! Meski Sulaiman tak semalang itu nasib keluarganya, namun Leman memang pantas bersanding dengan Rosnidar. Pasalnya, putra bungsu Angku Tan Baro punya kelainan dari tiga saudara lainnya. Bedanya; Sulaiman lemah otaknya, namun baik budinya dan penuh cinta, sementara tiga saudaranya cermerlang benaknya namun licik dan tamak sifatnya.
 Ah, sudah terbayangkah olehmu, Kawan, bagaimana nanti nasib keturunan Rosnidar-Leman? Apa jadinya sesama pandir digabungkan dalam tali perkawinan? Ah, Rosnidar memang mencari pasangan yang tepat, namun tak mengubah keturunan.
***
Dua puluh tahun kemudian, cerita ini semakin matang. Aku sudah berumur tujuh  belasan. Salah satu teman sebayaku adalah anak semata wayang Tek[5] Roih. Namanya Fatri Refnita. Namun, kami lebih gemar memanggilnya dengan panggilan kesayangan, ‘si Paik’.
Ada pepatah mengatakan bahwa buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tepat kawan! Layaknya sang amak dan ayahnya, si Paik pun pandir juga. Sudah dimasukkan sekolah sekalipun tetap saja pandirnya tak kunjung reda. Untung saja tiga tahun pernikahan, Sulaiman meninggal. Jadi tak bertambah pulalah populasi orang pandir di negeri kami. Sebab, tak akan ada orang yang mau menikah lagi dengan Rosnidar kecuali ‘si pandir’ pula. Namun, inilah salah satu yang aneh pada keturunan mereka. Selalu saja setelah melahirkan satu anak perempuan, suaminya meninggal. Paling tidak, kalaupun sempat mengalami hamil kedua suami meninggal, ujung-ujungnya pasti keguguran. Apa dan mengapa sebabnya, hanya pada Yang Maha Mengetahui saja kawan tanyakan!
Oh, Kawan, inilah kehidupan. Yang kaya dipermenang, yang miskin dipermalukan. Yang pintar merajai, yang bodoh wajib menghamba. Pernah suatu ketika, kami sepakat mengerjai si Paik. Pulang sekolah, kami robek selembar catatan bahasa melayu, lantas melipatnya serapi mungkin. Kami berkumpul di balai pemuda. Salah seorang temanku yang menjalankan tugasnya dengan sempurna membawa si Paik ke tempat kami. Kemudian giliranku beraksi,
“Paik, tadi pulang sekolah si Ago menitipkan surat ini untukmu.” Kataku seraya mengulurkan selembar kertas yang notabene adalah catatan Bahasa Melayu pada si buta huruf itu.
Mendengar nama Ago, cuping hidung si Paik kembang-kempis. Betapa tidak, si Paik tergila-gila pada Ago, pria paling tampan di kampungku, namun tukang tipu.
“Pasti surat cinta, tu….” Ujar kawan-kawanku serempak. “Suit…. Suit…”
Si paik membuka kertas itu di hadapan kami. Matanya bergerak kanan-kiri. Bibirnya komat-kamit seolah benar ia sedang membaca. Kawan-kawanku terpaksa memegang perut masing-masing karena menahan tawa melihat tingkahnya.
“Si Ago melamarku!” teriak si Paik kemudian setelah melipat kertas itu lagi. Semua yang ada di balai pemuda tertawa terbahak-bahak, kecuali aku. Merah telingaku dibuatnya dengan perkataan si pandir itu. Bagaimana tidak, Ago adalah kekasihku. Meski sejatinya aku paham betul bahwa ini semua hanya hura-hura, namun batinku tetap saja tak terima jika mendengar kekasihku melamar wanita lain. Apalagi dari gadis pandir kalimat itu keluarnya. Ah, tak pantaslah aku yang sering di-elu-elu-kan sebagai kembang desa kampung ini dibanding-bandingkan dengan gadis pandir yang mungkin isi otaknya hanya lendir!
“Benarkah?” tanya Enar pura-pura tak tahu.
Ia mengangguk senang. Kali ini aku ikut tertawa, meski tak selepas tawa rekanku yang lainnya. Ah, konyol!
Sementara Ago yang kami sembunyikan di balik pintu sudah tak tahan. Langsung saja ia menyembul ke permukaan, dan menunjuk hidung si Paik dengan tangan kiri.
“Eh, gadis pandir! Aku melamarmu? Cuih, najis!” kalimat yang tak begitu panjang, namun berhasil menusuk relung hatinya.
Air mata si Paik menggelenggang. Ia langsung berlari meningggalkan kami di keramaian. Kawan-kawanku masih terpingkal-pingkal sampai perut mereka terasa mengejang. Sementara aku kembali memasang wajah masam agar kekasihku tahu bahwa aku dilanda cemburu yang tak terhingga.
“Sudah, Sayang, jangan cemberut seperti itu. Bukankah ini semua kau sendiri yang minta? Mana mau aku jadi tumbal olok-olokan teman-teman jadi pacar di gadis pandir itu kalau bukan kau yang memintanya? Ah, ini karena cintaku padamu, Sayang!” rayu Ago padaku sambil tersenyum mesra nan lebar. Ah, kalau sudah begitu, luluh aku dibuatnya. Rasanya, ingin kuberikan saja ‘semua’ yang kupunya padanya. Seketika hilanglah sudah rasa gundah yang melanda.
***
            Sebulan kemudian, si Paik menikah dengan Pendi, anak kampung sebelah yang pandir juga. Ah, mungkinkah ini yang dimaksud, ’jodoh kita adalah seperti kita’? Entahlah, itu urusan Yang Maha Kuasa. Tapi yang jelas, pernikahan mereka sama persis layaknya pernikahan amaknya dua puluh tahun yang silam. Semua undangan tertawa geli melihat mempelai itu dan mengatakan bahwa mereka adalah pasangan yang serasi.
Kisah selanjutnya bisa ditebak. Lepas si Paik melahirkan putri pertamanya, Pendi meninggalkan si Paik dan buah cinta mereka untuk selamanya. Jika boleh aku menyimpulkan, agak punya negeri kami tidak rela bertambah benih-benih gadis pandir di perut mereka!
***

Demikianlah sepenggal hikayat yang kali ini kuceritakan padamu, Kawan! Tentang gadis pandir yang telah mendapat cinta dengan cerita yang sama sepanjang garis keturunannya.
Jika kawan-kawan tidak suka atau merasa kecewa dengan ceritaku ini,  mohon maaf yang sebesar-besarnya. Lain waktu, mungkin akan kuceritakan padamu tentang renik-renik cerita lain yang mewarnai kampungku. Menarik juga rasanya jika kuceritakan tentang amak yang selalu menanyakan dan mendesakku untuk segera menjunjung suntiang layaknya Tek Roih dan Si Paik, mengingat umurku sekarang sudah sebanding dengan tahun kemerdekaan negeri kita tercinta, Indonesia raya.
Atau tentang mulut amakku yang berbuih-buih, berpasal banyaknya mengumpatiku karena saban hari melihat geliat jemariku menekan keyboard, menumpahkan segala rangkaian kata yang bersarang di benakku, namun hasilnya tak pernah barang sekalipun kulempar pada media massa. Tulisan itu kubiarkan mengonggok dalam file ‘Karyaku’. Aku paham betul amak pasti kesal melihat perawan semata wayangnya tak menghasilkan uang, tak pernah terikat perkawinan, dan masih menumpang makan pada pencariannya. Biasanya, kegusaran itu beliau akhiri dengan kalimat, “Dasar gadis pandir, Kau Guih! Saban hari kau menulis, namun tak satu pun yang kau jual. Tak malukah kau sudah setua ini masih menyusu pada amakmu yang sudah tua bangka ini? Coba saja dulu kau kawin dengan Tan Ameh, sudah senang tentunya hidup kau di Jakarta! Tapi dulu kau tetap saja masih percaya pada cinta si Ago penipu itu. Lihat sekarang! Setelah mencicipimu, kau dia tinggal kawin, bukan? Apa kau bisa hidup dengan cinta sekarang?”
Sedih bukan buatan hati ini mendapat hujatan amak. Tapi seiring berjalanan waktu, telingaku jadi terbiasa dengan kalimat itu, karena amak selalu menutup ocehannya yang bak burung murai batu dengan rentetan kata mutiara andalannya itu.
Dan yang paling menarik, mungkin suatu saat nanti akan kuceritakan padamu juga tentang diri sendiri yang sampai sekarang masih  gamang kepada cinta semenjak Ago menikmati mahkotaku lalu mencampakkanku begitu saja. Dia dengan mudah menikah dengan wanita lain, sementara aku tersiksa karena traumanya cinta. Hingga berujung tak satu pun lamaran yang datang kuterima hingga bulat sudah umurku 45 sekarang. Ah, betapa pandirnya aku tertipu telak oleh kelabu cinta!
Namun, untuk menuliskan tentang diri sendiri agaknya harusnya kupikirkan lagi. Karena butuh analisis mendalam tentang hal ini. Pasalnya aku masih ragu, antara aku dan-garis keturunan-si Paik yang seharusnya paling layak mendapat gelar ‘gadis pandir berotak lendir’ itu, masih kupertanyakan. Pasalnya kami berdua sama-sama pandir walaupun dalam cerita yang berbeda.
Entahlah! Kuserahkan padamu, Kawan, untuk menjadi juri kami!*** Lawang, 20 November 2010


[1] Rumah adat Minangkabau.
[2] Seperti daging tumbuh
        [3] Perhiasan terbuat dari kuningan yang bertengger di kepala wanita pada proses pernikahan. 
        [4] Semacam ilmu sihir yang dipercaya bisa membuat orang tergila-gila pada orang yang menggunakan gasiang  tangkurak untuk memikat lawan jenisnya. Dewasa ini, istilah ini sudah sangat langka karena hampir tak ada yang menggunakan lagi.
[5] Panggilan untuk wanita sebaya dengan ibu kita.







.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

yups,... bagus, gadis pandir.

Williya Meta mengatakan...

Anonim:
Terima Kasih ^_^
salam sahabat!

Anonim mengatakan...

sampai trtawa trbahak-bhak aku bca prtama2 tadi.
tpi pas baca akhir, baru nyadar kalo sbenarnya yg disindir oleh penulis ternyata si tukang ceritanya.

aku juga ikut tersindir jadinya.
jadi mikir sendiri.
brapa bnyak orang yang suka ngeledek2 org lain, padahal dia sendiri belum tentu lebih baik dari orang yang diledeknya.

bnyak hikmah yang terkandung di cerita. hebat! mantap! top markotop! pokoknya penulisnya hebatlah.
saya suka tulisan2 kamu, meta.
saya tunggu karya2 terbaru kamu brikutnya. salam kenal ya, meta cntik...........

Khadafi-Syariah, IAIN IB

Williya Meta mengatakan...

Alhamdulillah...
syukurlah jika karya ini bermanfaat.

Meta senang, Khadafi bisa mengambil hikmah dari cerita ini. Moga bermanfaat, ya. :)

O, salam kenal juga, Khadafi.
Moga jadi sahabat yang baik.
^_^

Wasalam,
Williya Meta

Zul Afrita mengatakan...

cukup berhasil membuat saya kecewa...dengan imajinasi saya yang melayang-terbang tentang nasib muram si "aku" yang berkisah tentang kisah "luar" dirinya yang sebenarnya menceritakan kepandiran diri "aku" dengan amat menggeliat. sungguh cerpen ini telah mengantarkan terus berkelana sampai titik terakhir. dan aku benar-benar kecewa banyak yang kudapatkan dengan setiap kata-kata yang dirangkai penulisnya. selamat Meta... semoga menjadi pencarah untuk umat ini! teruskan asah penamu!

Williya Meta mengatakan...

Dear, Zul Afrita.
Hm.... maaf...
yang Zul maksud "kecewa" di sini apakah cara penceritaan Meta atau jalan hidup si tokoh aku?
Ambigu sekali kalimat yang Zul tulis bagi meta.
hm... mohon kejelasannya.

Oya, Insyaallah...
mohon doanya ya...
:)

Salam Takzim, Meta

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011