Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerpen; Lebaran Haji di Pulau Pagai

Senin, 06 Juni 2011 Label:


Terbit di Harian Singgalang edisi Minggu, 12 November 2010
Cerpen oleh; Williya Meta


Lebaran Haji di Pulau Pagai

Sudah lebih dua minggu gempa dan tsunami singgah di Pulau Pagai, Kep. Mentawai.  Menyapu harapan, asa, cita dan cinta. Juga pada Syarif. Bocah kecil yang kini hanya bisa diam jika dalam pelukan Surtini. Jika tidak, jeritannya akan menggema di seluruh pelosok tenda pengungsian. Jeritan yang membaur dengan tangisan pilu menyayat batin siapa saja yang  mendengarkannya.
Surtini sendiri pun bukan siapa-siapa Syarif. Relawan ini baru bertemu Syarif di tenda pengungsian pasca tsunami menyapa kampung itu. Kala itu, Syarif sedang menjerit-jerit. Tak henti-henti ia memanggil ayah dan ibunya yang sampai sekarang tidak tahu di mana muaranya. Entah selamat atau tidak. Suaranya semakin serak karena memang sudah terlalu lama menangis. Hati Surtini tergelitik karenanya. Iba menyeruak ke sanubarinya. Ia menghampiri Syarif dan segera menggendongnya. Perlahan-lahan tangisan Syarif mengecil, lalu menghilang. Hingga akhirnya Syarif terlelap di bahu Surtini.
Setelah Syarif tertidur, Surtini merebahkan tubuh Syarif. Ia segera pergi untuk membatu warga lain yang tentu sangat membutuhkan tenanganya. Hanya lima menit, jerit Syarif terdengar lagi. Suaranya tidak parau lagi. Agaknya, tidur sebentar cukup untuk memulihkan suaranya kembali.
Surtini segera berlari masuk ke tenda pengungsian. Hatinya tak kuasa mendengar tangisan Syarif. Meskipun Syarif sama sekali tak menyisipkan namanya dalam jeritan itu, namun Surtini bisa merasakan bahwa memang dirinyalah yang dipanggil oleh Syarif.
Benar saja! Ketika Surtini masuk dan segera menggendong Syarif, tangisnya kembali lambat hingga akhirnya benar-benar hilang. Seorang wanita paruh baya yang tadinya mencoba menenangkan Syarif menepuk pundak Surtini, dan berkata, “Wah, sepertinya Syarif merasa nyaman denganmu, Dik. Sejak kemarin ia menangis tak henti-henti memanggil ayah ibunya, tak seorang pun yang bisa menenangkannya. Baru ketika kamu gendong, ia mau diam. Begitu juga dengan sekarang! Hebat sekali, Dik!”
Surtini hanya memberikan seulas senyuman ramah pada wanita paruh baya itu. Wanita paruh baya membalasnya, lalu pergi meninggalkannya berkumpul dengan pengungsi lainnya. Surtini menatap ubun-ubun Syarif yang kini bersandar di pundaknya. Syarif menggeliat. Ternyata ia belum tidur.  Matanya senantiasa terbuka walaupun kepalanya menyandar di bahu surtini. Agaknya ia takut untuk memejamkan matanya kembali karena takut ditinggal lagi oleh surtini.
“Ayo tidur, Dik! Nanti kakak belikan permen dan mainan.” Bujuk Surtini.
Syarif menggeleng pelan.   Surtini merasakan gelengan Syarif di dadanya.
“Lho, kenapa? Adik lapar?” Tanya Surtini keibuan.
Lagi-lagi Syarif menggeleng. Kali ini gelengannya jauh lebih kencang, sekencang ia merapatkan pagutannya pada Surtini. Air mata Surtini jatuh berderai. Seolah ia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh bocah kecil itu. Kehilangan seluruh anggota keluarga dan hidup sebatang kara bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat diterima. Surtini dapat merasakan bagaimana keterpukulan Syarif yang mungkin sebelum tidur ia masih bercanda dengan orang tuanya, kemudian dalam hitungan detik semuanya sirna.
Surtini menurunkan Syarif dari pelukannya. Namun Syarif menggenggam kuat jilbab Surtini sehingga hampir terlepas. Sekarang Surtini benar-benar paham betapa bocah itu tak mau jauh darinya. Akhirnya, surtini duduk dan membawa Syarif turut serta. Ia duduk bersila dan Syarif duduk di depannya, masih dalam pelukannya. Ia menepuk-nepuk bokong Syarif dengan pelan agar bocah itu tertidur dan ia bisa melanjutkan aktivitasnya menolong sesama.
“Namanya siapa?” bisik Surtini ke telinga Syarif.
Syarif menjauhkan kepalanya dari bahu Surtini dan menatap mata surtini.
“Syarif” jawabnya pelan, lalu bersandar lagi ke bahu Surtini.
“Syarif mau makan, Dik?” Tanya Surtini lagi. Ia tahu Syarif tentu belum makan karena kata wanita paruh baya tadi, ia tak pernah henti menangis sebelum akhirnya berada dalam gendongannya.
Anggukan Syarif terasa di dadanya. Surtini segera bangkit menuju dapur umum pengungsian. Tentunya masih dengan menggendong Syarif karena ia benar-benar tak mau ditinggal. Setelah itu, dengan penuh kasih sayang, ia menyuapi Syarif. Tampaknya Syarif benar-benar lapar. Dengan lahap ia menghabiskan setiap sendok yang disodorkan ke bibirnya. Bahkan minta tambah.
Itu hanya cerita singkat pertemuan Syarif dan Surtini, warga Jawa yang kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang, yang ikut menjadi relawan, pahlawan tanpa tanda jasa.
***
“Mak, kapan kita potong jawi[1]?” kata Syarif tiba-tiba di suatu pagi.
Surtini terkesiap. Ia tidak menyangka bocah kecil itu akan menyanyakan hal tersebut. Setidaknya, mustahil Syarif yang notabene masih berumur  enam tahun akan tahu bahwa sebentar lagi Idhul Adha akan menyapa.
Dan yang paling membuat Surtini terkejut adalah, mengapa Syarif memanggilnya dengan panggilan ‘Mak’.  Surtini bergeming. Dilema. Ia bingung harus menjawab apa.
“Kenapa diam, Mak? Kapan kita potong jawi?” Syarif mengobrak-abrik kediaman Surtini. Kali ini bocah itu menarik-narik baju Surtini agar diperhatikan.
“A… a… Syarif tadi panggil kakak?” Tanya Surtini tergagap.
Tatapan bingung Syarif membalik pada mata Surtini. Lama sekali. Sejurus kemudian ia mengangguk.
“Iya, Mak!” katanya mantap.
Surtini menghela nafasnya dalam-dalam. Ingin sekali ia menanyakan pada Syarif mengapa ia memanggilnya ‘Mak’. Entah itu panggilan untuk ‘Amak’ atau hanya kata sapaan kesayangan untuknya. Namun pertanyaan itu tak jadi ia lontarkan pada bocah itu. Dalam benaknya hanya satu. Yang penting Syarif tidak sedih lagi! Terserah Syarif mau panggil amak, tante, oma, atau nenek sekalipun tak masalah. Asalkan itu bisa membuatnya tak berduka lara lagi, kenapa tidak?
Surtini berjongkok di depan Syarif agar kepala mereka sejajar dan percakapannya bisa lebih nyambung.
“Syarif pengen makan daging ya?” tebaknya. Namun Syarif menggeleng. Surtini jadi bingung. Dahinya mengernyit.
“Kalau tidak, lalu untuk apa menanyakan kapan potong jawi?” Tanya Surtini penasaran.
“Biasanya tak lama setelah lebaran baju baru, ayah kan selalu mengajak Syarif melihat lebaran potong  jawi di halaman surau itu.” Terang Syarif sambil menunjuk  halaman mushala  yang kini tentu saja telah porak poranda. Kayu-kayu, puing-puing batako, bahkan jenazah sudah lintang-pukang di sana.
Lagi-lagi Surtini bergeming. Air matanya menitik mendengarkan penjelasan Syarif dengan suara khas kekanak-kanakan. Ternyata Syarif adalah anak yang pintar dan memiliki daya ingat yang kuat. Sangat disayangkan anak sepintar dia harus kehilangan seluruh keluarganya. Namun agaknya, yang Maha Mengetahui tentu lebih tahu apa yang ditakdirkan untuk hambanya.
“Amak mengapa menangis?” Tanya Syarif sambil menghapus air mata Surtini dengan tangan kecilnya. “Kalau Amak sedih dengan pertanyaan Syarif, Syarif minta maaf. Syarif janji tidak akan menanyakan potong jawi lagi. Syarif janji! Syarif sayang sama Amak. Jangan tinggalkan Syarif lagi ya.” Kata Syarif dengan suara serak dan mata berkaca-kaca.
Batin Surtini semakin tersayat dibuatnya. Air matanya tumpah ruah. Segera ia tarik tangan Syarif sehingga tubuhnya jatuh dalam pelukan Surtini. Mereka sama-sama menangis.
Surtini berusaha untuk mengendalikan diri. Ia segera menghapus air matanya dan menjauhkan kepala Syarif dari pelukannya. Ia pun segera menghapus air mata Syarif yang ia sendiri tak tahu kapan tumpahnya. Mungkin saat masih dalam pelukan, terkanya.
“Tidak! Amak tidak sedih dengan pertanyaan Syarif.” Kata Surtini kemudian. Ia menyesuaikan dirinya dengan panggilan Syarif. Amak!
Syarif tersenyum senang, meski sisa-sisa air matanya masih berserakan di seputar matanya.
“Iya, kita pasti akan melihat potong jawi. Amak janji! Syarif akan melihat potong jawi bersama Amak.” Kata Surtini. Ia mencoba untuk menyatukan semua keoptimisannya meski ia sendiri belum tentu tahu entah yang ia janjikan pada Syarif sendiri akan terjadi atau hanya kata-kata penghibur untuk bocah malang itu.
***
Surtini segera menyampaikan apa yang baru saja ia bicarakan bersama Syarif pada ketua rombongan tim relawan. Ia meminta pada ketua agar  bisa mengusahakan adanya perayaan Idhul Adha di Pulau Pagai meski hanya memotong satu ekor jawi saja.
Ketua tim relawan berjanji akan mengusahakan untuk meminta atau mengajukan usul tersebut pada Bapak Gubernur. Dan syukurlah, Bapak Gubernur menyetujuinya. Gubernur berjanji akan mengirimkan tiga ekor jawi pada hari sabtu ke Pulau Pagai untuk perayaan hari Idhul Adha.
Mendapat kabar gembira tersebut, Surtini segera mengabarkannya pada Syarif. Mata Syarif berbinar mendengarkan berita bahagia dari Surtini bahwa potong jawi akan diselenggarakan di depan mushala, seperti tahun-tahun biasanya.
“Berarti kita bisa makan daging, Mak!” kata Syarif senang.
“Tentu! Syarif mau makan daging?”
Syarif mengangguk cepat. Tampak sekali ia begitu berhasrat. Tawanya berderai. Pikirannya menerawang, membayangkan dirinya dan ‘Amak’ barunya akan makan enak di hari Idhul Adha.
***
Minggu pagi kelabu. Dingin menusuk dari segala penjuru, membuat tubuh kian membeku. Namun beku di tubuh Surtini lebih hebat, karena janji Bapak Gubernur yang katanya hari sabtu akan mengirim tiga ekor jawi ke pulau pagai namun tak seekor pun yang sampai.
Beberapa jam setelah itu baru ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Gubernur telah memenuhi janjinya untuk mengirim tiga ekor jawi ke Pulau Pagai. Namun, di perjalanan kapal pembawa jawi itu karam, tenggelam di tengah lautan. Begitu yang ia dengar dari penuturan dari ketua tim relawan.
Surtini menatap Syarif yang masih tidur di pangkuannya. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus menepati janjinya! Lubuak Lintah, 11 November 2010


[1] Menyemblih sapi pada saat hari raya Idhul Adha

0 komentar:

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011