Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Janji untuk Mak Janewa

Jumat, 19 Agustus 2011 Label:

Cerpen oleh: Williya Meta
Terbit di Tabloid Qalam edisi Desember

Janji untuk Mak Janewa
Mak Janewa menurunkan tangannya dengan gontai dari telinga kanan ke paha gigilnya. Matanya mengerjap-ngerjap. Sejurus kemudian, cairan bening menganak di sudut matanya. Setetes. Dua tetes. Menjelang tiga tetes, Mak Janewa dengan cepat menghapusnya. Walau yang ada, cairan itu makin melebar, berserakan di seputar matanya. Mak Janewa berusaha menguatkan hati.
 Saogo segera menghampiri Mak Janewa. Diambilnya telepon genggam dari tangan kanan Mak Janewa yang masih terletak di paha gigil beliau. Telepon genggam itu ia pindahkan ke meja ruang tamu yang masih bisa dijangkaunya. Saogo menghapus serpih-serpih air mata yang masih berserakan di sudut mata Mak Janewa, hingga benar-benar kering.
”Jadi pulang dia, Mak?” tanya Saogo pelan. Ia tak ingin semakin membuat Amaknya sedih.
Mak Janewa menggeleng lambat, menambah suasana kelabu makin hebat.
”Sudahlah, Mak! Jangan terlalu difikirkan. Mungkin ada benarnya juga alasan Januar belum bisa pulang lebaran tahun ini.” Saogo berusaha menyenangkan hati Amaknya, meringankan beban kerinduan Mak Janewa pada putra bungsunya.
 ”Entahlah, Saogo. Amak ragu, apakah dia masih ingat jalan ke rumah ini atau tidak lagi! Jika benar tiga hari lagi dia tak pulang, masuk lebaran ketujuh kita lalui tanpanya.” Mak Janewa kembali meneteskan air mata. Saogo dengan sigap menghapusnya.
***
”Pulanglah kau, Dik! Amak benar-benar sangat merindukanmu!” serak suara Saogo mengamit.
Januar hanya diam beberapa saat, lalu, ”Aku juga sangat merindukan Amak dan Abang” lirih suaranya terdengar.
”Kalau begitu pulanglah!”
”Belum, Bang! Belum! Aku belum mendapatkan apa yang dulu kucita-citakan. Bukankah dulu aku telah berjanji pada Abang dan Amak bahwa aku tak akan pulang sebelum berhasil di tanah rantau?”
”Bukankah itu semua sudah tercapai? Apa lagi yang kau tunggu? Bukankah kau sudah membeli rumah megah di sana? Apa itu masih kurang berhasil menurutmu, heh? Apa lagi yang ingin kau buktikan?” Saogo menyerang Januar, adik semata wayangnya, dengan pertanyaan.
”Belum, Bang! Aku ingin buktikan bahwa aku bisa lebih berhasil dari Abang dulu, sebelum akhirnya, semua harta Abang dilalap si jago merah. Aku ingin lebih kaya dari itu, Bang. Kalau itu sudah terwujud, aku akan segera pulang!”
”Pulanglah, Dik. Itu hanya bisikan syaitan pada manusia agar tak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya.”
”Tidak, Bang. Ini bukan bisik syaitan, tapi perintah agama untuk selalu giat berusaha seolah-olah akan hidup seribu tahun lagi.”
”Lalu bagaimana dengan beribadahlah engkau seolah-olah akan mati esok? Sudahkah kau seimbangkan antara dunia dan akhiratmu, Dik?”
”Oh, tentu. Aku selalu pegang petuah Amak yang dulu beliau sampaikan sebelum aku berangkat ke tanah rantau. Aku tak pernah meninggalkan shalat. Setiap tahun aku bayarkan zakat atas seluruh hartaku. Aku juga tidak pernah bolong puasa di bulan Ramadhan. Apakah karena aku tidak pulang kampung itu menjadi pasal tidak menyeimbangkan dunia dan akhiratku, Bang?” Januar balik bertanya.
”Tidak, Dik. Tapi tak ingatkah kau dalam Al-Qur’an memerintahkan untuk berbuat baik pada orang tua? Lupakah kau hal itu?”
Januar kembali bungkam. Saogo melanjutkan, ”Amak selalu menangis setiap kali terkenang kau. Selalu berusaha menyembunyikan tangis itu saat kau memberitahukan tidak bisa pulang, meski sebenarnya Amak tak bisa menyembunyikannya. Aku selalu bisa tahu Amak menangis dari lembab di mata beliau.”
”Bang, kumohon berilah pengertian pada Amak bahwa tidak ada maksud hatiku untuk menyakiti hati beliau dengan ketidakpulanganku. Telah kukatakan sebelumnya bahwa aku tidak akan pulang sebelum aku benar-benar telah lebih sukses dari masa tuah Abang dulu!”
”Oh, Adikku! Tidakkah kau mengambil pelajaran dari perantauanku itu? Dulu, aku juga selalu mengatakan pada Amak bahwa aku belum bisa pulang kampung. Kau selalu meneleponku dan mengatakan Amak rindu padaku. Namun, akhirnya aku pulang juga setelah Allah memberiku kutukan dengan kebakaran itu. Anak-istriku meninggalkanku. Tidakkah kau mengambil pelajaran dari sana, Dik? Kapan kau pulang? Saat si jago merah juga akan menghabiskan hartamu?” kini suara Saogo jauh lebih tinggi nadanya.
Januar bergeming. Air matanya menitik. Jauh dalam sanubarinya, ia pun sangat merindukan Amak dan Abangnya. Namun, semua itu dipungkiri karena selalu ingin membuktikan, entah pada siapa, bahwa sebenarnya dia bisa jauh lebih unggul dari pada kejayaan Abangnya dulu di tanah rantau.
”Mengapa Abang menyumpahiku?” tiba-tiba suara Januar terdengar, setelah beberapa detik bungkam.
”Sama sekali aku tidak pernah menyumpahimu, Dik. Kau adikku satu-satunya. Tak mungkin aku menginginkan hal buruk terjadi padamu. Apalagi menyumpahimu.” nada tinggi Saogo menurun.
Januar menghela nafas panjang, ”Aku janji akan pulang Lebaran Haji, Bang. Beritahulah pada Amak. Kali ini aku benar-benar berjanji. Tapi, untuk Lebaran Idul Fitri ini, mohon Abang beri pengertian pada Amak bahwa aku benar-benar tak bisa pulang. Abang tahu, bukan, daganganku laku keras menjelang detik-detik lebaran Idul Fitri. Tentu Abang juga pernah rasakan bagaimana nasib penjual baju sepertiku.”
”Aku mengerti, Dik. Kuharap kali ini kau bisa memenuhi janjimu. Tak seperti tujuh janji yang sama sebelumnya, yang tak pernah  kau tepati.”
”Sungguh kali ini aku berjanji, Bang.”
”Kupegang janjimu!” tukas Saogo, lalu, ”Dik, maukah kau kuberi nasehat?”
”Ada apa gerangan tiba-tiba Abang minta izin dulu sebelum menasehatiku? Seperti baru kali pertama saja! Tentu, Bang. Apa itu?”
”Janganlah kau menganggapku ini sainganmu. Aku ini Abang yang selalu menyayangimu, sama seperti Amak yang selalu menyayangimu.”
”Astagfirullah, Bang. Tak ada maksud hatiku menganggap Abang sainganku.”
”Lalu mengapa kau ingin selalu membuktikan bahwa kau bisa lebih unggul dariku? Sudahlah, Dik. Kau memang jauh lebih unggul dariku. Kau tahu itu dari dulu, dari kita masih kanak dulu. Aku selalu kalah darimu. Tak perlulah lagi kau siksa dirimu dengan hasrat ingin menang dariku, karena aku memang bukan sainganmu, Dik.” suara pelan Saogo akhirnya tak dapat menahan tangisnya, meski tak sampai tersedu sedan.
”Bang, aku ada janji dengan pemasok hari ini. Lain kali biar aku yang menelepon.”
Saogo tersenyum gamang, lalu menghela nafas panjang, untuk yang entah ke berapa kali. Ia tahu adiknya mencari-cari alasan untuk mengalihkan pembicaraan.
”Baiklah. Berjanjilah padaku kau benar-benar akan pulang lebaran Haji, November depan.”
”Aku janji, Bang!”
”Semoga apa yang kau tempuh selalu diridhoi Allah. Kami semua sangat merindukanmu. Assalamualaikum.”
***
Betapa terkejutnya Saogo ketika membalikkan badan hendak masuk rumah kembali, tiba-tiba Mak Janewa telah berdiri di depan pintu. Padahal, sebelum menelepon adiknya nun jauh di seberang pulau sana, ia telah memastikan terlebih dahulu bahwa Amaknya telah tertidur dalam serpihan tangis (sesudah Amak menelpon Januar). Ia juga sengaja menelepon adiknya di teras rumah karena takut suaranya akan membangunkan Amak.
”Su... sudah lama Amak berdiri di sini?” Saogo tergagap dadakan. Nafasnya tersenggal-senggal, berusaha menyembunyikan terkejut itu.
”Sejak selangkah kau meninggalkan Amak, Nak!” jawab Mak Janewa dengan mata berkaca-kaca.
Saogo segera memeluk Mak Janewa, wanita perkasa yang telah membesarkannya. Sejak Ayahnya tenggelam di laut, saat itu ia masih kelas lima SD, Mak Janewalah yang mengambil peran Ayahnya, dan menjadi tokoh ganda dalam keluarga.
”Jangan menangis, Mak. Januar tidak pernah melupakan kita. Ia bahkan sangat merindukan kita. Tadi ia berkata, akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk bisa memberangkatkan kita naik haji.” dusta Saogo untuk menyenangkan hati Amaknya.
Mak Janewa memaksa bibir keriputnya untuk membuat seulas senyuman. ”Tak perlu kau bohongi Amak, Nak. Amak mendengar semua pembicaraanmu tadi.”
Saogo semakin mengencangkan pelukannya pada Mak Janewa.
”Semoga ia benar-benar menepati janjinya pulang lebaran Haji itu, Nak.” Tangis Mak Janewa membuncah.
***
Mak Janewa sibuk menjahit baju Saogo yang robek karena tersangkut paku dapur. Saogo menonton televisi sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Mak Janewa.
”Saogo, sudah tanggal berapa sekarang? Masih lamakah lebaran Haji?”
Saogo segera bangkit menuju sudut ruangan, lalu meletakkan telunjuknya di kalender yang ditempel di sana, mengurut angka-angka yang tercetak rapi itu. ”Sekarang 25 Oktober, Mak. Lebaran Haji tanggal 17 November. Berarti sekitar empat minggu lagi, Mak” simpul Saogo. Ia melangkah kembali ke kursi ruang tamu, lalu menyandar lagi ke bahu Mak Janewa.
”Amak benar-benar merindukan Januar. Sudah tak sabar Amak menanti kepulangannya. Semoga kali ini ia menepati janjinya, Saogo!”
”Tentu, Mak. Kali ini aku sangat yakin dia akan pulang ke kampung ini.”
Amak terdiam. Lama. Saogo bangkit dari sandarannya di bahu Mak Janewa, lalu, menatap mata beliau. Ada dua anak sungai mengalir di sudut mata Mak Janewa yang semakin keriput. Saogo segera menghapusnya tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba bumi bergetar, menggigil, bergoncang.
”Gempa.... Gempa.... Gempa....” terdengar riuh suara tetangga dari luar rumah.
Bumi semakin berguncang.  ”Allahu akbar.... gempa, Mak!” Teriak Saogo.
Ia segera menggendong Mak Janewa dan berlari ke luar rumah. Lampu seketika padam.
***
Sesudah shalat subuh, Januar menghidupkan televisi. Televisi asyik mengoceh, Januar asyik pula melanjutkan aktifitasnya. Ia berencana memanaskan mesin sepeda motor. Namun, tiba-tiba pembawa acara berita menyebutkan nama kampung halamannya. Telinga Januar langsung tegak. Ia berbalik menuju meja televisi dan duduk dua meter di depannya. Ia mendengar dengan seksama.
”Telah terjadi gempa berkekuatan 7,2 SR di Mentawai dan berdampak tsunami.” Wanita cantik berambut sebahu itu membacakan berita.
Januar segera bangkit tanpa memperdulikan lagi kata-kata lanjutan wanita cantik pembawa acara itu. Ia segera mengambil telepon genggam dan segera menghubungi Amak dan Abangnya.
Sekali, dua kali, sepuluh kali, lima belas kali. Namun hasilnya sama saja. Telepon genggam itu tidak mau lagi menghubungkan mereka. Mungkin telepon genggam pun juga bosan menghubungkan janji demi janji Januar pada keluarga di kampung halamannya.
Januar segera berkemas, mempercepat kepulangannya. Kali ini dia jauh lebih tepat janji. Pulang sebelum tanggal yang dijanjikannya.
***
”Mak, Aku pulang, Mak. Aku pulang!” raung Januar ketika melihat puing-puing rumahnya yang telah porak-poranda.
”Bang, kumohon jangan bersembunyi. Di mana engkau, Bang. Di mana Amak, Abang sembunyikan?” Januar semakin meronta-ronta. Namun, tak ada yang mempedulikannya. Beberapa warga yang lain juga bertingkah sama. Mencari dan mencari jenazah keluarga masing-masing.***Kamar Sunyi, 26 Oktober 2010

0 komentar:

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011