Sajak II
oleh: Williya Meta
(Adaptasi sajak Alizar Tanjung)
Kami kelas satu Kak, menyusun kursi, bangku,
menata bunga, vas kaca, alas, menanti riang
senyummu dan riak-riak bahasa "selamat pagi, Adik-adik."
Kami kelas dua Kak, mengatur bahasa, ”Sampai ketemu besok, Kak...!”
membaca alif dan ya, menata "a" dan "z",
Kami kelas tiga Kak, yang menanti hujan penuh pelangi
di matamu, di bibir pintu tanpa dada tangan,
mengecup punggung tanganmu. "Harum" seru kami
pada Tut Wuri Handayani di bibir Hadjar
di ruang itu, Kami menunggumu, Kak,
di meja, kursi: buku penuh coretan, puisi-puisi
yang kau ajarkan.[1]
Menunggu dan menunggu tanpa henti
tanpa lelah berharap, kakak akan kembali pada kami.
Tapi…
Bayangan anggunmu malah semakin jauh meninggalkan kami.
Kami menjerit pilu agar kakak tidak meningalkan kami.
“Jangan gunting tali harapan kami untuk menggapai pendidikan”
Namun….
Kakak tetap tinggalkan kami
Berharap dan berharap kakak kembali.
Karena memang tak ada lagi yang peduli dengan nasib kami.
Tapi kakak tak kunjung datang.
Kami mulai melihat bayangan hitam,
Selimuti tali harapan kami.
Namun…
Cahaya terang merekah itu akhirnya datang, ketika
Pak Jorong bilang kau akan kembali.
Dan hari ini kami pun melihat sosokmu.
Kak…
Hari ini kami mohon
Jangan pernah gunting tali harapan kami lagi.
Jika engkau meninggalkan kami karena kenakalan kami, kami janji tak akan berbuat demikian lagi kak.
Engkau harus tahu kak, beratapa kami mencitaimu***
(1) Syair Alizar Tanjung, Menunggu Ibu
Sajak III
oleh; Williya Meta
Semua kata melebur, pergi meninggalkanku
hingga aku tak tahu, apa yang ingin kutulis
gerak penaku tak pernah menuliskan apa yang ingin kutulis
lama…
sangat lama
Mungkin aku gila, mungkin
otakku memang sudah tidak waras
mengapa sulit melahirkan kata-kata lagi?
akh… payah!!!
Semua kata seolah telah diambil oleh penyair, penulis, atau pengarang terkenal, hingga
mereka tak sisakan satu katapun untukku
kejam!!!
Kepalaku telah berubah menjadi karang beku di lautan
yang tak bisa lunak melahirkan kata-kata
sesekali dihantam ombak besar, namun tetap,
batu karang yang kokoh tak kunjung berderai
Kukira aku adalah penyair, pengarang, dan penulis hebat
ternyata…
aku tak lebih dari seonggok sampah yang tak bisa melahirkan kata-kata indah seperti Khalil Ghibran
Kata-kata telah berakhir
aku hanya bisa membuat nisan
nisan mengistirahatkan kata-kata
Namun, tak jua pernah mengistirahatkan otak dan kincir akalku…
untuk berhenti mengingatmu, Zinta!***
0 komentar:
Posting Komentar