KELAHIRAN NABI MUHAMMAD SAW
Oleh: Williya Meta
Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari keluarga Bani Hasyim di Makkah,
suatu kabilah yang kurang berkuasa di suku Quraish. Nabi Muhammad lahir dari
keluarga terhormat yang relative miskin[1],
pada senin pagi tanggal 12 Rabi’ul Awwal, atau bertepatan tanggal 20 atau 22
bulan April tahun 571M, berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad
Sulaiman Al-Manshurfury dan penelitian astronomi Mahmud Basya. Sebenarnya
banyak sekali perbedaan pendapat ulama tentang tanggal kelahiran pasti Nabi
Muhammad SAW.
Ibnu Sa’a meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah SAW berkata, “Setelah
bayiku keluar, aku melihat ada cahaya keluar dari kemaluanku, menyinari
istana-istana di Syam.”. Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Arbadh bin Sariyah,
yang isinya serupa dengan perkataan tersebut. Diriwayatkan bahwa ada beberapa
bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu
runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah
orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah
gereja-gereja itu jatuh ke tanah. Yang demikian diriwayatkan Al-Baihaqi.[2]
Peristiwa besar yang terjadi di masa sebelum kelahiran Nabi Muhammad
SAW adalah rencana penghancuran Ka’bah.
Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani,
Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan
Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi
tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka’bah baru dan megah di Yaman,
serta akan menghancurkan Ka’bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya
untuk menyerbu Mekah.
Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya, Hunata untuk menemui
Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Hunata dan Abdul Muthalib menemui
Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan
menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka’bah
terjadilah petaka tersebut. Qur’an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah
dan pasukannya dalam Surat Al-Fil.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ
فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيل •أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي
تَضْلِيلٍ • وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ
طَيْرًا أَبَابِيلَ • تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ • فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah
bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya
mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada
mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti
daun-daun yang dimakan (ulat).”
(Qs. Al-Fil : 1-5)
Pendapat umum menyebut “Toiron Ababil” sebagai “Burung Ababil” atau
“Burung yang berbondong-bondong”. Buku “Sejarah Hidup Muhammad” yang ditulis Muhammad
Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya
wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga
Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada
tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor hujan batu panas yang berjatuhan
atau ‘terbang’ dari langit. Wallahua’lam. Yang pasti masa tersebut dikenal
sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.[3]
Kelahiran manusia luar biasa memang juga didahului peristiwa yang
luar biasa. Muhammad namanya, ayahnya bernama Abdullah, Ibundanya Aminah, kedua
orang tuanya berasal dari silsilah yang mulia yang merupakan keturunan Jawara
Tauhid (Ibrahim AS). Abdullah lahir kedunia hanya untuk
membawa nur Muhammad dan meletakkannya ke dalam rahim Aminah, sang isteri saat
itu mengandung (2 bulan) bayi yang kelak menjadi manusia besar. Setelah lama
kepergian sang suami, sang isteri merasakan kesepian yang amat dalam, walaupun
suaminya selalu berkirim surat.
Namun pada saat lain surat tidak lagi ia terima, begitu riang hatinya ternyata
ia melihat rombongan dagang suaminya telah pulang, tapi Ia amat terkejut karena
tak dilihatnya suaminya, datanglah seseorang dari rombongan tersebut yang
menyampaikan berita kepada Aminah, mulutnya begitu berat untuk mengucapkan
kata-kata ini kepada wanita ini, ia tidak sanggup mengutarakannya, namun
akhirnya terucap juga bahwa sang suami telah berpulang ke hadirat Allah Swt dan
dimakamkan di abwa. Begitu goncang hatinnya mendengarkan hal ini, tak sanggup
menahan tangisnya, ia menangis menahan sedih dan tak makan beberapa hari.
Hingga akhirnya ia bermimpi, dalam mimpinya seorang wanita datang
dan berkata kepadanya agar ia menjaga bayi dalam janinnya dengan baik-baik. Ia
berulang kali bermimpi bertemu dengan wanita tersebut yang ternyata adalah
Maryam binti Imran (Ibu Isa as). Dalam mimpinya sang wanita mulia ini berkata: “Kelak bayi yang ada didalam rahimmu akan
menjadi manusia paling mulia sejagat raya, maka jagalah ia baik-baik hingga
kelahirannya.”
Dan benarlah, lahirlah Rasulullah dari rahimnya. Meski lahir sebagai
seorang yatim. Tetapi beliaulah yang menjadi kekasih pilihan Allah, rahmatan
lil ‘alamin. Setelah Aminah melahirkan, dia mengutus utusan kepada kakeknya,
Abdhul Muthalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya.
Maka Abdul Muthalibdatang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke
dalam Ka’bah, seraya berdoa pada Allah dan bersyukur pada-Nya. Dia memilih nama
Muhammad, nama yang belum pernah dikenal di kalanga Arab. Beliau di khitan pada
hari ke tujuh, seperti yang dilakukan orang-orang arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah
Tsuwaibah, hamba sahaya dari Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya
Masruh. Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relative sudah maju,
mereka akan mencari wanita yang bisa menyusui anak-anaknya sebagai langkah
untuk menjauhi anak-anak itu dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang
sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat , otot-ototnya kekar dan agar keluarga
yang menyusuinya bisa melatihnya bahasa Arab. Maka Abdul Muthalib mencari
wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta pada keluarga bani sa’ab bin Bakr
agar menyusui beliau , yaitu Halimah bin Abu Dzu’aib dengan didaming suaminya
Alharist bin Abdul Uzza, yang berjulukan Abu Khasah dari kabilah yang sama.
Halimah bisa merasakan barokah yang beliau bawa sehingga bisa
mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya yang diriwayatkan oleh Ibnu
Ishaq,bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi bersama suami dan
anaknya yang masih kecil dan disusuinya. Dia berkata, “ Itu terjadi pada masa
kami hidup susah, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pegi sambil naik
keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor nta yang sudah tua dan tak
bisa diambil darinya susu walau setetespun. Sepanjang malam kami tidak bisa
tidur karma hurus menidurkan bayi kami yang terus menerus menangis karena
kelaparan. Air susuku juga ta banyak bisa diharapkan. Sekalipun kami masih
tetap mengharapkan uluran tangan dan jalan keluar. Akupun pergi sambil
menunggang keledai betina milik kami dan hamper tak pernak turun darinya,
sehingga keledai itu semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan sampai
di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita
yang ditawari menyusui Rasulullah pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau
anak yatim. Tidak mengherankan karena kami mengharapkan imbalan yang cukup
memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, “Dia semua anak
yatim.” Tidak ada pilihan bagi ibu dan
kakek beliau, kerana kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita
dari rombongan kami sudah mendapat bayi yang akan mereka susui, kecuali aku
sendiri. Tatkala kami sudah siap-siap akan kembali, aku berkata pada suamiku,
“Demi Allah aku tak ingin kembali dengan teman-temanku tanpa membawa bayi yang
akan aku susui.Demi Allah aku akan mendatangi anak yatim dan akan membawanya.”
“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Smoga Allah saja
yang mendatangkan barokah bagi kita dari pada anak ini.”
Maka aku pun menememui bayi itu, dan aku siap membawanya. Tatkala
menggendongnya seakan-akan aku tidak merasakan beban. Aku segera kembali
menghamiri hewan tungganganku tadi, tatkala aku menyusuinya, bayi itu langsung
bisa menyusu dengan lancer sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Setelah itu
anakku juga bisa minum susuku dengan puas dan kenyang, hingga kedua bayiku kini
bisa tidur dengan nyenyak. Padahal sebelumnya itu kami tidak bisa tidur walau
sekedippun karena mengurusi anak kami. Suamiku menghampiri onta yang sudah tua.
Ternyata air susunya penuh, kami pun memerahnya. Suamiku bisa minum air susu
onta tersebut, aku pun juga. Hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah
malam yang paling indah rasanya bagi kami.
“Demi Allah wahai Halimah, engkau telah ambil satu jiwa yang penuh
barokah,” kata suamiku padaku esok paginya.
“Demi Allah akupun berharap demikian.” Kataku
Saat akan pulang Halimah pun menunggangi hewannya tadi. Mereka
terheran-heran melihat hewan yang tadi lemah sekarang mampu melanjutkan
perjalannan. Sesampainya di Bani Sa’ad kami tak pernah melihat setumpak tanahku
lebih subur dari pada sekarang ini. Domba-Domba kami pun menyongsong kami
dengan keadaan kenyang dan susu yang siap perah. Suamiku memerah susu domba itu
dan kami bisa meminumnya dengan sepuasnya. Kami senatiasa mendapatkan berokah
yang bertambah dan kebaikan Allah salama dua tahun menyusui anak susuan kami.
Lalu kami menyapihnya, bahkan sebelum usia 2 tahun dia sudah tumbuh besar.
CATATAN KAKI
§ Dr.Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2008), hlm.16
§ Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,1997) hlm.75
§ www.sejarahkebudayaanislam.com
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Al-Mubarakfury, Syaikh
Shafiyyurrahman. 1997. Sirah Nabawiyah.
Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar
www.sejarahkebudayaanislam.com
0 komentar:
Posting Komentar