Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerpen; Ending

Jumat, 19 Agustus 2011 Label:


Cerpen oleh: Williya Meta
Cerpen ini belum pernah dipublikasi

ENDING

Dia masih belum percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Bangunan di sekitarnya tampak hampir sama. Deretan rumah semi permanen yang rata-rata berwarna biru muda dengan atasan kayu nyaris lapuk. Namun ada juga yang berwarna hijau dan abu-abu seperti dua rumah di seberang jalan kecil, tepat di depan teras rumah tempat sekarang ia duduk. Udara panas kota Padang terasa semakin gersang dengan pemandangan di luar teras rumah. Para wanita yang lalu-lalang rata-rata pakai sepatu hak tinggi, rok mini, dan sepotong baju kaos ketat yang membuat tubuh mereka tampak semakin sexi. Angin-angin nakal menyapu wajah mereka, rambut yang tergerai semakin indah dipermainkan angin.
”Sudah lama?” Suara parau pria kurus bermata cekung itu berhasil memporak-porandakan lamunannya.
”Baru dua jam.” Jawabnya sambil berdiri dan tersenyum, ”Dari mana?”
”Baru pulang beli nasi di ujung gang itu, lalu pergi survey sedikit” jawabnya datar.
Pria itu merogoh saku kiri celana panjangnya lalu mengeluarkan anak kunci. Sesaat kemudian, setelah berhasil memasukkan anak kunci itu ke dalam lubang handle pintu, memutar-mutarkannya, mendorong gagang pintu, terbuka sudah.
”Silahkan masuk!”
Wanita itu masuk ke dalam rumah semi permanen bercat biru muda. Dia melihat ke langit-langit rumah, tanpa loteng. Menggeleng-geleng.
”Mau minum apa?”
”Tidak usah!”
”Kalau begitu ikut makan nasi ya! Satu berdua saja!”
Pria itu melangkah ke belakang dan kembali dengan membawa sebuah piring dan dua sendok lalu meletakkannya di atas meja tepat di hadapan wanita itu berdiri.
”Kenapa masih berdiri? Apa harus aku ucapkan ’silahkan duduk’? Seperti bertamu ke rumah orang lain saja!” Celoteh pria itu. Ia melangkah menuju sudut kanan ruang tamu, kulkas mini khusus air sejuk. Mengeluarkan sebuah bolol minuman kemasan yang dia isi ulang sendiri lalu menutup kembali pintu kulkas itu.
Loh, mengapa tak dibuka bungkusannya?” Tanya pria itu kembali.
Ia melepas karet gelang yang melilit bungkusan itu hingga akhirnya bungkusan itu terbuka. Nasi bungkus siap makan dengan goreng empela dan hati ayam.
”Kebetulan sekali aku pesan hati ayam. Kesukaan kamu, bukan?” pria itu menyendok nasi lalu mengarahkan pada bibirnya. Hap... sesendok nasi berhasil masuk ke dalam gawang mulutnya, mencetak gol indah.
”Mengapa diam saja? Kamu sakit?” Kunyahnya berhenti, kali ini menatap dalam wanita berkulit langsat dan bibir merekahnya.
Wanita itu hanya menggeleng. Hidungnya yang mancung semakin lancip ketika bibirnya manyun sambil menggeleng.
”Lalu kenapa?” ia menjauhkan nasi yang tadi disendoknya. Serius menatap wanita yang kini duduk di sampingnya.
”Aku tidak habis fikir, mengapa kamu lebih milih tinggal di kontrakan kecil ini? Kalau kamu punya masalah dengan orang tua, selesaikan dengan kepala dingin. Bukan dengan minggat seperti ini. Tempat ini tidak layak untukmu!” Akhirnya wanita yang tadi bungkam membuka suaranya.
”Masalah? Tidak! Aku sama sekali tidak punya masalah apa-apa dengan orang tuaku!”
”Lalu mengapa kamu tinggal disini? Rumahmu kurang apa? Fasilitas lengkap, ranjangmu hangat dan nyaman, apapun yang kamu minta selalu di kabulkan!”
”Aku mau jadi seorang penulis!”
”Apa hubungannya?”
”Tiga bulan yang lalu aku  ikut pelatihan kepenulisan di Taman Budaya dan menjadi anggota baru di sana. Kakak yang menyampaikan materi itu mengatakan bahwa ide itu bisa muncul darimana saja. Bisa lewat bacaan, tontonan, bahkan pengalaman hidup sehari-hari.”
”Lalu?”
”Aku sangat ingin jadi seorang penulis terkenal. Tapi aku kurang suka membaca, nonton sinetron apalagi. Kalau hanya tinggal di rumahku yang serba ada itu, mana bisa aku dapat inspirasi? Tidak ada yang menarik untuk dijadikan tulisan! Itu sebabnya aku pindah ke sini. Lihat... itu targetku!” Terang pria itu sambil menguakkan tirai jendela.
Wanita itu melongok ke jendela dan mengikuti arah telunjuk pria tersebut. Ia menangkap sosok perempuan dengan rok mini, sepatu hak tinggi, dan rambut terurai yang sesekali diterbangkan angin, kulitnya putih, semampai berisi. Wanita itu duduk di teras rumahnya bercat hijau dengan menyilangkan kaki ditemani sebuah minuman kaleng yang sedang digenggamnya.
”Dia...” wanita itu menatap tajam pria yang didatanginya.
”Pelacur!”
”Iya, aku tahu! Itu sudah pasti, karena kamu memang menyewa rumah di kompleks pelacur dan istri simpanan om-om kaya! Daerah ini sudah terkenal!”
Pria itu menyeringai sambil merentangkan tangannya ke depan dan menangkap lagi piring nasi yang tadi dijauhkannya. Menyendoknya. Hap... membuat gol indah.
”Apa menariknya menulis tentang pelacur? Sampah masyarakat!”
”Kebanyakan orang memang berpikiran sama denganmu, Mirza! Tapi aku melihat dari sudut yang berbeda. Dalam cerita yang kutulis, namanya Sinta. Awalnya, dia hanya seorang gadis desa yang lugu dari Agam yang memiliki ibu penyakitan. Seorang germo membujuknya ke Jakarta untuk mencari biaya  pengobatan ibunya dengan alasan jadi pembantu rumah tangga. Si gadis lugu akhirnya terbujuk dan ikut ke Jakarta. Jakarta yang penuh dengan kekejaman juga merampas ’makhkota’nya dengan kejam. Tiga bulan setelah itu ia berhasil melarikan diri dan pulang ke kampung halamannya. Namun sayang, ibunya telah meninggal. Janji germo yang menangung biaya pengobatan ibunya hanya bohong belaka. Ia benar-benar merasa tak berguna.
Berkali-kali ia mencoba bunuh diri, namun selalu berhasil diselamatkan oleh warga. Hingga akhirnya ia lelah bunuh diri dan memilih untuk bertahan hidup. Ia selalu berpikir, hidupnya sudah tak ada gunanya. Ibu hilang, ’makhkota’ hilang. Takkan seorang kumbang pun yang mau mempersuntingnya. Menurutnya, kebahagian hanyalah dongeng peri salju yang mustahil menghampirinya. Sudah kepalang basah, akhirnya ia datang ke sini dan mejadi pelacur. Namun, bukan karena paksaan atau tipu daya orang lain. Tapi karena kebutuhan hidup yang semakin melilit sementara ia harus bertahan hidup.”
”Ah, itu kan cuma fiksi yang kamu karang. Belum tentu kenyataannya seperti itu!”
”Itu memang fiksi, tapi fakta. Aku ingin semua fiksi yang kubuat benar-benar dari kisah nyata. Sebelum menulis cerita itu, aku survey dulu... walaupun survey kecil-kecilan, tapi yang penting diangkat dari kisah nyata. Aku bela-belain bantu-bantu mereka biar tambah akrab, jadi sedikit banyaknya mereka cerita tentang pengalamannya.”
”Endingnya bagaimana?”
”Nah, itu dia masalahnya! Mungkin itulah barangkali beda fiksi sama realita. Kalau fiksi ada endingnya, tapi kalau realita belum tentu juga. Kadang ketika seorang tokoh sudah meninggal, namun efek dari perbuatannya ketika masih hidup, masih saja ada. Makanya, sampai sekarang aku belum menemukan ide yang tepat untuk endingnya.”
”Mau kubantu biar cepat selesainya?”
”Eits, jangan salah! Aku mau jadi penulis profesional! Semua karya yang kubuat harus murni dariku sendiri.”
”Hm, baiklah! Lalu, kapan kamu balik ke rumah?”
”Kalau tulisan ini sudah selesai. Doakan aku agar cepat menemukan endingnya!”
”Sementara menunggu endingnya dapat, apa saja yang kamu lakukan?”
”Survey kisah lain!”
”Maksudnya?”
”Nah, jadi di sebelah rumah Sinta, tinggal seorang istri simpanan pejabat. Tuh... yang rumahnya pakai cat abu-abu. Namanya Meta. Sabtu-minggu Om itu selalu nginap di rumah istri simpanannya. Sebenarnya, si Om sudah tidak mau lagi selingkuh dan mempertahankan rumah tangganya. Tapi istri simpanannya itu mengancam akan memberitahu istrinya tentang perselingkuhan itu kalau dia ditinggalkan. Jadi, Om itu terpaksa menjalankan dua peran. Uniknya, istri simpanannya Om itu menyimpan nomor telpon istri si Om dengan ’maduku’. Hahaha...” Romesh tertawa geli. Lalu menyuap lagi nasinya.
”Lalu?”
”Cerita yang kubuat baru sampai di situ. Aku belum survey mendalam tentang dia!”
“Endingnya juga belum ketemu?” tebak Mirza.
Romesh mengangguk sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
”Ya sudah! Aku doakan semoga endingnya cepat bertemu, jadi kamu bisa balik ke rumah dengan cepat! Kasihan orang tuamu, mereka pasti merindukanmu.”
”Alah... kamu seperti baru mengenalku sebulan dua bulan saja! Orang tuaku super sibuk. Ada atau tidaknya aku di rumah sama sekali tak ada bagi mereka!”
Mirza terdiam, membenarkan perkataan Romesh.
”Kenapa kamu begitu peduli denganku?”
Karena aku mencintaimu! Jerit hati Mirza yang tentu saja tak bisa di dengar oleh Romesh. ”Karena kau adalah sahabatku! Aku sangat mengkhawatirkanmu!” Kalimat itu bergulir paksa dari bibirnya.
”Kau memang sahabat yang baik!” senyum Romesh mengambang.
***
”Pemirsa, seorang istri dewan berinisial MY, membunuh seorang wanita di sebuah kontrakan di Jl. Pamungkas no.39 Padang sabtu malam pukul 20.00 WIB. Meta, 26 tahun, tewas seketika saat MY menusukkan pisau yang telah disediakannya. Diduga Meta adalah simpanan suaminya karena pada saat kejadian suami MY memang sedang berada di rumah Meta. Sekarang MY mendekam di penjara dan terancam hukuman dua puluh tahun penjara dengan tuduhan pembunuhan berencana.”
Romesh mematikan televisi yang sedang menyiarkan  berita yang terjadi di depan mata kepalanya ketika keributan tadi malam. Ia dan beberapa warga lainnya sempat melerai pertengkaran itu, sebelum akhirnya istri dewan itu membinasakan benalu dalam biduk rumah tangganya.
Ia melangkah menuju kamarnya, duduk di depan rak komputer yang telah ia nyalakan. Diam. Hanya jemarinya yang menari-nari diatas key board mengetik ending ceritanya.
***

Padang ekspres.
Senin, 16 agustus 2010
Seorang wanita tewas di rumah kontrakannya. Diduga korban adalah seorang pelacur yang dibunuh oleh ’pelanggannya’. Korban tewas dengan tiga tusukkan benda tajam di sekitar perutnya. Kini korban di bawa ke RS M.Djamil untuk diotopsi.
Romesh melipat korannya. Kejadian kemarin ternyata dengan cepat meluas ke media massa. Ia memejamkan matanya kuat. Mencoba memikirkan ending ceritanya, atau memikirkan sesuatu. Entahlah...

***
Romesh membaca kembali hasil ketikannya. Mirza duduk di sampingnya ikut membaca serta menjadi editor yang baik seperti permintaan Romesh sebelumnya.
”Bagus! Perfect!” Mirza buka suara setelah membaca dua fiksi sahabatnya, pujaan hatinya.
“Aku benci dengan tulisanku sendiri!”
”Kenapa? Bukankah kamu sudah menemukan ending yang tepat, sesuai dengan kenyatan. Sebagai editor, menurutku tulisanmu sangat bagus.”
”Bukan, bukan itu. Aku benci cerita ini. Semua seperti serba kebetulan dan berakhir tragis! Semua seperti disengaja, terjadi begitu cepat. Aku ingin jadi penulis dengan kata-kata halus yang menggungah minat baca, bukan penulis kriminal seperti ini.”
Mirza terdiam. Mouse yang dipegangnya terlihat bergerak-gerak. Bukan! Bukan mouse yang bergerak, tapi tangannya gemetar.
”Kamu kenapa???”
”Ti... ti... tidak!” jawab Mirza terbata-bata.
Romesh menangkap sesuatu yang aneh dari sahabatnya. Ia berteman sejak kecil, hingga ia sangat hafal gerak-gerik sahabatnya.
”Kamu terlihat aneh! Tak seperti biasanya. Kamu ada masalah?”
Mirza menggeleng kencang dengan mata ketakutan.
”Kamu kenapa?” Romesh menggenggam tangan Mirza, namun Mirza berusaha melepaskannya. Romesh yang semakin bingung mulai curiga.
”Jangan katakan padaku, kalau kamu terlibat dalam dua kasus pembunuhan ini!”
Kini Mirza terisak. Tubuhnya menggigil. Tangisannya membuncah.
”Kamu...” Romesh tak percaya.
”Maafkan aku! A... Aku hanya ingin membantumu menemukan endingnya segera. Ta... tapi aku gagal. Kamu sama sekali tak menyukai bantuanku.”
”Ja... jadi kamu yang...”
”Iya! A..aku yang  menelpon istri anggota dewan itu. Sepulang dari rumahmu, a... aku melihat wanita itu sedang menjemur pakaiannya di halaman belakang. Aku pura-pura pingsan, dia memapahku ke dalam rumahnya. Dia keluar, aku gentayangi rumahnya. Kulihat Hp-nya yang sedang di-charger, kucari nomor ’maduku’, lalu kusalin. Kemudian, aku pura-pura pinsan lagi hingga akhirnya dia datang. Ia menciumkan bawang putih ke hidungku hingga aku bangun. Kemudian pulang, dan menelpon istri dewan itu.”
”Kamu gila!!! Oh,  lalu Sinta?”
”Tomi yang melalukannya.”
”Satpammu itu?”
”Aku yang menyuruhnya!”
”Kamu.... kamu... Ah!!!” Romesh berdiri lalu meninju pintu kamarnya. Kata-katanya tertahan dengan buntalan amarah yang menggondok di kerongkongannya.
”Aku tahu setelah ini kamu akan melaporkanku pada polisi. Tapi kamu harus tahu, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Aku tak bisa hidup jauh darimu seperti sekarang ini. Aku hanya ingin membantumu mencarikan endingnya. Agar kamu bisa cepat kembali pulang dan kita menjalani hari-hari seperti biasa. Sayangnya, kau tak menyukai bantuanku.”
”Aku tak habis pikir ternyata kamu...” Romesh tak melanjutkan kata-katanya.
”Apa? Psikopat, heh?”
Romesh menendang pintunya lalu berlari keluar, menjauhi sahabatnya. Sementara Mirza tertawa sambil menangis, melangkah gontai menuju dapur, mencari pisau, dan membuat ending yang sama dengan dua rumah semi permanen berwarna hijau dan abu-abu yang tepat di depan rumah kontrakan sahabatnya.*** Cirebon, Agustus 2010-disempurnakan di Sudut Kampung, Agustus 2011

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Ngeri....
Tapi keren.

Tumben karya kamu agak gaul bahasanya, Ta?
Biasanya Sastra Klasik abizzz...
hehehe

from; ka' Daili-STKIP

Anonim mengatakan...

seru ceriteranya.
cuma yg agak ganjil kubaca namanya meta prsis nama blog ini,atau mngkin nama orngnya

Williya Meta mengatakan...

Dear Anonim...

Eh... makasih.
Oh, itu karena Meta kehabisan stok nama. jadi narsis aja pake nama sendiri.
hehehe

:)

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011