Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Cerpen; Nisan Palimo

Jumat, 19 Agustus 2011 Label:


Cerpen oleh : Williya Meta
Cerpen ini bergabung di Antologi 25 CERPENIS SUMBAR, Potongan Tangan Di Kursi Tuhan
Nisan Palimo
Manir keluar-masuk pintu dengan setumpuk kain kering di pelukannya. Kain itu ia letakkan di atas kursi yang telah bertahun-tahun mengabdi di gubuknya. Kursi nan telah pudar warnanya, tak mengkilat dan telah reot pula. Di samping gundukan kain yang baru saja diletakkan itu, duduk Palimo dengan sebatang rokok murah yang sedang dihisapnya. Dari ritme hisapannya yang dalam, mafhumlah kita bahwa sejatinya ia tak sedang menikmati rokok itu, namun jauh dari tatapan nanar Palimo ke lantai gubuk, tersimpan akar masalah yang sedang menggerogoti fikirannya.
“Jadi bagaimana, Bang?” Suara Manir memporak-porandakan lamunan Palimo. Ia kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu meniupkan asapnya hingga menggepul ke udara. Sementara Manir yang kini sudah duduk berseberangan kain dengannya mulai memainkan jemari untuk melipat kain.
“Ya, nanti Abang usahakan. Yang jelas, jangan sampai mengurus Surat Keterangan Miskin itu” jawab Palimo datar.
“Kalau Abang tetap tak punya uang bagaimana? Sampai kapan kita harus bersikeras seperti ini? Sudah tiga bulan, Bang. Aku tidak mau Agus sampai putus sekolahnya. Cukuplah kita yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Tapi demi Agus, apapun harus kita usahakan sampai titik darah penghabisan” ujar Manir dengan geming suara yang ditahan.
Palimo menatap mata bulat istrinya yang kini telah berkaca-kaca. Luluh-lantak hati Palimo dibuatnya. Wanita yang dulu dijanjikannya surga, kini ikut merasakan derita. Derita orang tak berpunya.
Lama sekali ia menatap wanita yang kian hari, kian ringkih saja. Kulitnya yang dulu putih, kini sudah kusam lagi tak bercahaya. Aih, belum lagi peluh yang setiap hari tak pernah absen berceceran di dahi istrinya, pertanda serba susah yang dikerjakannya. Sanggulnya sering miring, rambut-rambut kusam-masai menyembul terjuntai di kening, tak lagi tersusun rapi. Betapa tidak, luas kebun tebu di halaman belakang gubuknya tumbuh subur di bawah asuhan tangannya, sepeninggal sang suami bekerja. 
“Apakah kau menyesal menikah denganku, Dik?” Tanya Palimo pada Manir dengan suara pelan. Manir terkesiap. Bola matanya langsung menghujam tubuh sang suami dengan tajam.
“Mengapa pula Abang berkata demikian? Secuil pun aku tak pernah menyesal menikah dengan Abang. Jangan berkata seperti itu lagi, Bang. Perih hatiku mendengarkan kata pilumu itu” Manir segera menghapus rintik air matanya yang beberapa tetes telah membasahi kain kering di atas pahanya.
“Jangan menangis, Nir. Abang janji, dalam dua minggu ini uang itu sudah ada. Manir doakan sajalah Abang mudah reski. Mudah-mudahan ada orang datang membeli nisan kita.”
***
Palimo membuat bukit-bukitan dengan campuran semen, pasir, dan kerikil. Lalu melubangi puncak tengah bukit itu dengan cangkul tua, kemudian menggenangkan air, membentuk sebuah telaga. Tak lama berselang, ia mulai mengaduk-aduk campuran itu hingga rata dengan sisi datar-tajam cangkul.
Meski tubuhnya terlihat asyik mengaduk-aduk semen itu, namun tatapan matanya nanar. Otaknya tiada pernah berhenti untuk mengulang rekaman yang baru saja dilakoninya, di gubuk reotnya. Masih teringat jelas tatkala sang istri mengadu, “Bang, tadi aku dipanggil Kepala Sekolah si Agus. Beliau memberitahukan bahwa Agus akan dikeluarkan jika tidak membayar uang sekolah. Masa tenggang dari sekolah sudah habis. Tiga bulan sudah ia menunggak. Kepala Sekolah bilang, kalau merasa tidak mampu membayar uang sekolah, silahkan urus Surat Miskin. Pihak sekolah mau membantu kita mengurusnya. Namun kalau sudah pakai Surat Miskin, Agus harus pindah ke SD kampung ini. Karena sekolah yang di kecamatan itu hanya untuk orang-orang kaya. Bagiku tak masalah, yang penting Agus bisa sekolah.”
“Apa? Surat Miskin?” Serta-merta dadanya sesak mendengar pemberitahuan wanita yang dicintanya sejak pertama kali bersua itu. “Ini bukan masalah mampu atau tidak, Dik. Tapi masalah harga diri. Apa kata orang tuamu nanti jika kita mengurus Surat Miskin. Apalagi sampai tahu kalau cucu mereka sekolah di tempat orang-orang melarat. Mereka tentu akan mencemoohku yang dulu saat meminangmu berjanji akan membahagiakanmu. Tidak kasihankah kau, Dik, jika harga diriku diinjak-injak orang tuamu yang pongah itu?”
Istrinya terdiam. Ia berada di posisi yang rumit. Mempertahankan harga diri sang suami atau sekolah anak? Dalam kebimbangan itu, ia bangkit ke luar lalu kembali dengan setumpuk kain kering dalam pelukannya. Palimo paham betul sifat Manir tatkala dirundung masalah. Ia selalu mencari kegiatan lain agar otaknya tidak terlalu pening. Sementara Manir mengambil jemuran, Palimo mengambil sebatang rokok murah, memanggang ujungnya hingga berbara merah, lalu menghisapnya dalam-dalam. Manir tentu  juga sudah mafhum dengan tabiat suaminya.
“Jadi bagaimana, Bang?” Tanya Manir kembali meminta kepastian pada sang suami yang tidak punya kepastian. Ia belum bisa menjanjikan apa-apa. Maka kembali ia hisap rokok itu, lebih dalam.
Rekaman di gubuk reot itu seketika sirna ketika sebuah tangan menepuk bahu Palimo dari belakang. Palimo segera berdiri dan melepaskan cangkul tuanya. Ia berbalik badan. Di hadapannya sekarang berdiri sesosok pria gembul dengan pakaian necis.
“Leman?” Teriak Palimo tak percaya setelah beberapa detik bungkam, sibuk menduga-duga. Ia amat tak menyangka bahwa teman masa kecilnya tiba-tiba muncul dengan perubahan yang amat mencengangkan.
“Hahaha… tidak salah dugaanku.  Aku hafal betul gerak-gerikmu, Palimo. Bahkan ketika melihat kau menungging-nungging mengacau semen pun, aku dapat menebak bahwa ini adalah kau.”  Pria gembul itu terkekeh sehingga perut buncitnya ikut bergoyang.
“Ya, itu pastilah karena kau dulu sering makan nasi di rumahku, sehingga otakmu selalu terpaut pada keluargaku. Buktinya sekarang kau bisa mengendus keberadaanku, bukan?” Balas Palimo tak mau kalah.
“Bagaimana menurut kau, aku ini sekarang? Mengaku kalah kau, heh?” Tanya Leman sambil sedikit mengembangkan ketiaknya lalu berputar-putar di hadapan Palimo. Palimo diam sesaat sambil memperhatikan kawan lama yang dua belas tahun tak pernah bersua dipisah nasib yang berbeda.
“Ya, aku mengaku kalah. Kupikir dulu kau tidak bisa gemuk. Mengingat dulu makanmu tak lepas dari ubi kayu. Makanya kau paling suka ke rumahku, karena hanya Amakku yang berbaik hati memberimu izin mencicipi nasi. Mmm, tapi siapa sangka sekarang kau bongsor seperti ini.”
Leman tersenyum sumringah sambil membisikkan sesuatu, “Ini namanya berkah. Dapat istri kaya, cantik pula.”
“Wah, beruntungnya nasibmu!” Guman Palimo nyaris tak terdengar. “Heh, apa perlu kupersilahkan kau duduk?” Tanya Palimo lagi seraya berkacak pinggang.
Leman segera duduk di atas nisan keramik hijau muda, tak jauh dari posisi Palimo yang  kembali mulai mengaduk-aduk semen dan kawan-kawannya. Palimo pasti tak mau ambil resiko jika membiarkan semen itu mengering begitu saja sebelum dimasukkan ke dalam cetakan nisan yang telah tersedia. Sambil terus berkerja ia bertanya,”Mmm… mengapa pula kau bisa terdampar di Kotokatiak nan lengang ini?”
“Sudah satu minggu aku dan juga anak-istriku pindah ke sini. Rumahku di kampung sebelah. Jatah tanah warisan untuk istriku berhektar-hektar di sini. Jadi sudah sepatutnya kami mengelola warisan itu. Kau sendiri mengapa bisa jadi tukang kubur di sini?”
Palimo menghentikan ayunan cangkulnya. “Tukang kubur? Heh, dari dulu mulut kau memang tak pernah sekolah, ya. Aku bukan tukang kubur, tapi penjual nisan keramik. Tapi… masih bisa dikategorikan perangkat kubur-lah, hahaha” balas Palimo dengan tawa khasnya.
“Panjang ceritanya mengapa aku bisa tinggal di sini. Yang jelas sejak kau merantau, aku benar-benar tak punya teman bermain sama besar lagi. Akhirnya kuputuskan untuk mencari teman hidup. Kupinang si Manir anak Haji Midun. Dia terkekeh menghinaku yang tak punya pekerjaan tetap, berani melamar anak gadis orang. Dia menyangsikanku dapat memberi makan dan membahagiakan anaknya. Tentu saja aku tak sudi harga diriku diinjak seperti itu. Di depannya aku bersumpah, akan berhasil dalam jangka waktu lima belas tahun. Untunglah cintaku pada Manir bak gayung bersambut. Manir juga turut memohon pada Haji pongah itu agar merestui hubungan kami. Haji Midun terpaksa menyetujuinya. Setelah menikah, kami pindah ke kampung ini dan aku membuka usaha ini, melihat tak seorang pun yang menjual nisan di sini.” Palimo mulai mengayunkan cangkul tuanya kembali  menghantam adukan semen.
“Besar juga nyalimu, Kawan! Sama seperti Palimo bermental baja yang kukenal dulu. Oya, di mana rumahmu?”
“Itu!” Palimo berhenti lagi sejenak lalu menunjuk gubuk reot di seberang jalan.
“Apa? Masa kedaimu jauh lebih bagus dari tempat tinggalmu?” Tanya Leman tak percaya.
“Ini sebenarnya bukan milikku, tapi milik saudara bapak yang punya toko bangunan itu. Saudaranya sudah tidak di kampung lagi. Jadi aku diizinkan cuma-cuma mengisi kedai ini.” Jawab Palimo dengan nada rendah. “Ada apa pula kiranya kau datang ke mari?” Sengaja ia lontarkan pertanyaan agar Leman tak merespon perkataannya tadi. Ia tak mau harga dirinya semakin terinjak jika kemelaratannya semakin terkuak.
“Aku hendak membeli semen, pasir, dan alat bangunan lainnya. Istriku minta dapurnya diperluas lagi. Waktu sedang bertarik-tarik harga dengan yang punya toko bangunan itu, tanpa sengaja kulihat kau di sini. Segera saja aku kemari” urai Leman pada karib lamanya. “Eh, apa nama kedai kau ini?” Tanya Leman kemudian sambil melihat ke atas atap dan sekelilingnya. Palimo menyeringai sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Ah, jadi kedai kau ini ‘Tanpa Nama’? Wah, kau ini bagaimana? Sudah jelas hanya ada tiga kedai yang ada di deretan ini, tapi cuma kedai kau yang tak punya nama. Letak kedai kau ditengah-tengah pula. Lihat itu! ‘Toko Annida Bangunan’. Di kiri kau lihat, ‘Toserba Yayan’. Hanya kedai kau saja yang tak punya nama!” Celetuk Leman diiringi tawa yang semakin keras.
“Aku bingung mau memberi nama apa yang cocok untuk tempat ini” ujar Palimo datar.
“Aha, aku ada usul. Bagaimana kalau kau beri nama ‘Nisan Palimo’ saja?”
“Ah, nanti orang fikir ini bukan tempat menjual nisan, tapi nisan milik almarhum Palimo!” Respon Palimo sekedarnya sambil memasukan adonan semen dalam cetakan. Selesai. Ia segera duduk di hadapan Leman, di atas nisan keramik kelabu-asap untuk ukuran anak-anak.
“Ah, tak masalah itu. Kau fikir orang-orang bodoh macam dirimu apa? Dengan melihat deretan nisan buatanmu ini, mafhumlah mereka bahwa ini tempat menjual nisan, bukan nisan milikmu. Hm…. Kalau kau pakai nama ‘Nisan Palimo’, aku janji akan membeli nisanmu.”
“Benarkah?” Tanya Palimo setengah berteriak penuh harap. Sudah terbayang di pelupuk matanya pundi-pundi pembayar uang sekolah anaknya.
“Tentu saja! Tapi kau tunggu aku mati dulu, hahaha…” Lagi-lagi Leman terkekeh. Palimo hanya tersenyum masam. Seketika tumpukan uang yang tadi bergentayangan di pelupuk matanya sirna.
“Kau tahu doa siapa yang paling buruk di atas muka bumi ini?” Tanya Leman kemudian. Palimo menggeleng tanpa berubah raut mukanya. Tertarik pun tidak untuk menjawab pertanyaan konyol temannya.
“Tukang jual batu nisan beserta seluruh keluarganya!” Katanya lagi.
“Kenapa?” Tanya Palimo terperenjak kaget.
“Ya, saat mereka berdoa supaya rezkinya lancar, secara tidak langsung dia mendoakan kematian orang. Kalau tidak ada yang mati, siapa yang mau membeli dagangannya? Hahaha…” semakin terpingkal-pingkal Leman tertawa. Kali ini ditambahi dengan pegangan erat di perut buncitnya.
Semakin masamlah senyum Palimo. Walaupun akhirnya ia paksa juga dirinya untuk tertawa. Ia mencoba untuk memahami sifat sahabatnya itu yang selalu begitu. Tiada hari tanpa tertawa, itu barangkali prinsip hidupnya.
***
Sesuai permintaan Palimo, kali ini Manir berdandan lebih jelita dibandingkan hari biasa. Makanan yang tersedia di meja makan-nan telah reot-pun juga tampak bertukar rupanya. Makanan yang terhidang biasanya tak jauh-jauh dari pucuak parancih[1], kini menjelma jadi gulai ayam lado mudo[2]. Tampaknya, Palimo benar-benar ingin menyambut Leman beserta istri dan anaknya dengan baik dalam jamuan makan malam di gubuknya.
Palimo sendiri yang meminta Leman, sesaat sebelum dia meninggalkan ‘Nisan Palimo’nya untuk bertandang ke gubuknya. Dia memang tak punya banyak uang untuk menjamu tamunya, namun setidaknya meski dengan makanan ala kadarnya, tak lunturlah rasa persaudaraan yang dipupuknya sejak kecil dulu.
“Hari sudah larut, Bang. Abang yakin teman Abang itu akan datang?” Tanya Manir sambil merapikan sanggulnya yang mulai berjuntai helaian rambutnya.
“Tunggulah sebentar, Dik. Mereka pasti datang. Adikkan lihat sendiri tadi abang telah menyusul mereka. Katanya mereka pasti datang. Sabarlah, Dik. Leman itu biasanya tepat janji.”
Lewat tengah malam, Leman dan keluarga belum datang juga. Manir terlelap dengan kepala bersanding dengan mangkok gulai ayam lado mudo. Sementara Palimo berpagutan dalam tidur bersama anaknya.
***
Maut memang tiada yang menyangka kapan datangnya. Istri Leman meraung-raung, dengan dada tersingkap bekas amukannya. Di depannya terbentang karpet anyaman bambu dengan dua jenazah di atasnya berbungkus kain putih dengan bercak merah di sekitar kepalanya. Dua jenazah itu tak lain adalah Leman dan anaknya.
Tatkala Palimo dan Manir sampai di rumah duka, sirnalah sudah segala kekecewaan akibat ketidakdatangan Leman ke gubuknya semalam. Musnahnya iba hatinya akibat praduga Leman tak berkenan menginjak tempat naungnya. Ternyata, inilah musababnya.
Manir mendekati istri Leman yang telah dikerumuni amai-amai[3] lain. Semua berusaha menenangkan wanita malang yang meronta-ronta itu, berharap agar lebih jernih pikirannya dan tabah menerima semuanya.
Sementara Palimo ikut berkumpul dengan warga lain yang menyelenggarakan jenazah. Dari desas-desus yang menebar, terhembus kabar Leman dan anaknya diserang orang tak dikenal lalu membunuhnya di jalan lengang, perbatasan kampung Kotokatiak dengan Surau Gadang. Anehnya, pelaku tak mengambil secuil pun harta yang dibawa oleh Leman. Bekas luka yang ada di tubuh jenazah jelas menggunakan benda tajam, namun sepertinya bukan pisau atau parang. Entah apa, tapi yang jelas agak melebar-persegi panjang.
Beruntung istri Leman menolak ajakan sang suami untuk bertandang ke kampung sebelah, tadi malam. Kalau tidak mungkin terkapar tiga jenazah yang telah menjadi korban.
Mendengar itu semua, mata Palimo terbelalak. Ia segera membisikkan seuntai cerita itu pada Manir. Manir tampak bergidik dan segera menyambar tangan suaminya. Tampak ketakutan di wajah Manir membayangkan kejadian yang menimpa teman lama suaminya. Untuk menenangkan, Palimo segera mengajak Manir pulang. Ia tak ingin belahan jiwanya tertekan.
***
 Seminggu kemudian, Palimo kembali membuat bukit-bukitan dengan campuran semen, pasir, dan kerikil secukupnya. Lalu melubangi puncak tengah bukit itu dengan cangkul baru, kemudian menggenangkan air, membentuk sebuah telaga. Tak lama berselang, ia mulai mengaduk-aduk campuran itu hingga rata dengan cangkul yang bersisi datar, mengkilap dan sangat tajam.
Seorang yang mengaku suruhan keluarga almarhum Leman datang menawar satu nisan ukuran besar dan satu nisan ukuran anak-anak. Tanpa negosiasi yang berpanjangan, harga langsung disetujui oleh Palimo. Untung tipis tak masalah, toh nisan itu juga untuk sahabatnya yang memang dulu pernah ada niat memakai nisan dari ‘Nisan Palimo’.
Setelah memindahkan nisan keramik hijau muda dan kelabu-asap ke mobil suruhan keluarga Leman, Palimo segera menuju halaman belakang kedainya dan mencangkul tanah hingga menjadi sebuah lubang dengan cangkul barunya sekitar dua-tiga meter. Setelah selesai, ia meninggalkan cangkul barunya di dekat lubang kemudian melangkah masuk kedai, dan keluar lagi sambil menggenggam cangkul tua dengan bercak merah-anyir di ujung besinya yang tajam.
Sebelum mengubur cangkul tua itu, ia memejamkan mata dalam-dalam dan mengenang keperkasaan cangkul tua tatkala menghantam kepala Leman dan anaknya di perjalanan lengang menuju rumahnya, dalam jangka permohonan izin pada Manir dengan dalih menyusul dan memastikan kedatangan karibnya.
“Anggap saja ini doa tukang jual batu nisan dan seluruh keluarganya, Kawan!” ucapnya lirih sambil membanting cangkul tua ke dalam lubang.
Ia mengubur sisa darah Leman yang masih tersisa di permukaan. Ia tersenyum menang, namun gamang. Kerena ada harga diri yang dapat dipertahankan. Ada dendam kesumat hati tersayat yang terbalaskan. Ada luka yang terbayarkan. Namun, juga ada penghianatan dalam ikatan persahabatan.***Lubuak Lintah, 29 Desember 2010


[1] Daun singkong
[2] Cabe hijau
[3] Ibu-ibu

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap ceritanya.
penulis berhasil membuat saya tak bisa menebak jalan ceritanya.

Bravo!!!
Saya suka karya-karya Williya Meta

Salam kenal.... Ilham

Williya Meta mengatakan...

terima kasih sudah membacanya, Ilham.
salam kenal kembali...
:)

Williya Meta

Anonim mengatakan...

mntap lukisan criteranya.

salam...sang titik

Anonim mengatakan...

mntap lukisan ceriteranya

salam.............sang titik

Williya Meta mengatakan...

Dear, sang Titik...
Hm, terima kasih sudah berkunjung dan membacanya.
semoga bermanfaat ya....

Salam Takzim
Williya Meta

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011