Selamat Datang di blog Williya Meta "Bidadari Bulan Hijau"
.

Curhat: Masker, Oh... Masker!

Selasa, 23 Agustus 2011 Label:

Maker oh Masker!
Curhat by Williya Meta

Sudah lama rasanya tak berkumpul lagi dengan sahabat dan tertawa bersama. Biasanya, sepanjang waktu kami habiskan dengan saling berbagi dan bercengkrama. Tapi kali ini beda! Kami tidak pernah bertemu karena ada satu dan lain hal yang sangat fatal dalam rentang waktu yang cukup lama.
Kembali pada topik yang sudah kupilih sebagai judul (soalnya kalau membahas penyebab kami tak bertemu, bisa menghabiskan satu rim HVS, hahaha). Bertemunya dua orang sahabat yang saling merindu, membuat kami tak henti-henti mengoceh, menceritakan pengalaman masing-masing. Kami selingi dengan tawa, agar masalah yang sedang kami hadapi ini tidak terlalu didramatisir untuk memuramkan masa depan kami yang pasti gemilang. (Optimis tingkat tinggi mode on)
Di suatu titik waktu, aku memperhatikan wajah sahabatku dengan seksama, kemudian melontarkan kejujuran yang sangat menyakitinya, “Aku rasa wajahmu semakin kusam dan berjerawat, Kawan!”
Sahabatku pun awut-awutan. Mau marah? Hm, agaknya rasa rindu akan persahabatan kami lebih besar dalam hatinya dibandingkan rasa marah hanya karena komentarku yang terlalu jujur itu.
Maka seolah-olah tak percaya, dia membalas, “Perasaan kamu saja, mungkin!”
Seperti biasa, aku semakin bersemangat menakut-nakutinya (***sahabatku paling takut jika dikatakan jerawatnya bertambah), “Serius! Lihat jarawatmu, semakin parah besarnya. Ih... joroknya!” kataku dengan nada berlebih-lebihan seperti anak-anak alay yang lagi ngetop di layar lebar.
“Biarlah, jerawat itu ‘kan nikmat!” sanggahnya mematahkan cacianku.
“Ha ha, itu ‘kan kata orang yang berjerawat untuk membesar-besarkan hatinya.” Balasku semakin menjadi-jadi.
Di penghujung kesabarannya, dia melemparku dengan bantal guling lantas membelakangiku. Aku tertawa terbahak-bahak melihatnya bertingkah yang seperti anak kecil.  Tapi, lama kelamaan aku sempat cemas juga, sebab dia tak mau lagi bicara. Hingga akhirnya terpaksalah aku membujuknya.
“Eh, kita coba pakai masker xxxxx yang ada di iklan waktu itu, bagaimana? Soalnya, selama di pedalaman kampung nan jauh di sana, aku juga tak pernah merawat wajah. Lihat, semakin kusam kulitku sekarang, bukan?” rayuku dengan terpaksa merendahkan diri.
Dia menoleh padaku, kemudian memperhatikan wajahku dengan seksama. “Ah, tidak! Kusam apanya? Masih sama seperti dulu kok…” simpulnya sendiri.
“Hm, tak apa-apa. Belilah masker itu, siapa tahu benar kalau masker itu bisa memutihkan kulit dan menghilangkan jerawat.” Kataku lagi sambil terus berusaha menggembirakan hatinya.
Singkat cerita, akhirnya sahabatku pergi membeli masker itu ke pasar. Sedangkan aku beristirahat di rumah karena memang masih sakit, sejatinya. Sepulangnya dia dari pasar, ia memberikan bungkus masker itu padaku.
“Hah, ini bukan masker yang di iklan itu, bukan?” tanyaku padanya.
Dengan mata berbinar-binar dan semangat empat lima, diterangkannya padaku kelebihan masker yang dibelinya dan kekurangan masker yang kulihat di iklan itu. “Masker ini bisa memutihkan kulit dan menghilangkan jerawat hanya dalam satu kali pemakaian. Ini maskernya para artis! Dewi Sandra sama Cinta Laura bisa seputih itu karena pakai masker ini.”
Dari logat bicaranya yang mendadak seperti sales, aku yakin dia pasti baru saja dilobi oleh penjual masker ini. Tapi, ya sudahlah! Paling tidak hatinya sekarang sedang riang gembira, dan aku tak akan mengusiknya.
Kulihat dia terburu-buru (saking semangatnya) mengambil sebuah piring kecil di dapur. Kemudian mulailah dia beroperasi dengan menuangkan masker bubuk dari plastiknya kemudian mencampurnya dengan air hangat, mengaduk hingga rata tanpa mengeluarkan suara walau hanya sepatah kata.
“Kamu yakin cara membuatnya seperti itu?” tanyaku ragu.
“Iya, kakak yang tukang jual ini tadi yang menunjukkan caranya.”
Aku diam saja. Ah, penjual masker sangat berhasil mempengaruhi sahabatku.
“Tara…. Selesai!” teriaknya bahagia sambil mengangkat adonan masker yang baru saja diraciknya.
“Ayo, ayo tidur… mau seputih Cinta Laura, tidak?” katanya lagi sambil mendorong tubuhku yang memang sedang lemah lunglai tak berdaya dan tak bertenaga.
Tanpa kompromi, dibalurnya wajahku dengan masker itu. Hitungan beberapa detik, wajahku sudah seperti Mak Lampir baru pulang kerja dari pabrik terigu. Dikipas-kipasnya wajahku dengan buku agar maskerku cepat kering.
Namun, tak lama setelah itu, ia menepuk kening sambil menjerit histeris, “Trus, siapa yang mau memakaikan masker ini ke wajahku?”
“Emm..mmmm. mmm. ….mmm…” gumamku. Masker ini benar-benar telah meregang wajahku hingga aku sangat sulit menggerakkan mulut.
“Apa? Aku tak mengerti apa katamu.”
“Mmm. Emmm….ammm…. emmmm,  um,…” gumamku lagi sambil berharap maskerku yang sudah mulai kering itu tak rontok. Kali ini aku menunjuk-nunjuk dirinya sendiri, berharap dia mengerti.
“Apa? Aku tak mengerti….” Jawabnya lagi.
Dengan hati jengkel dan geram aku berkata, “Pakai se lah sorang!!!!” Masker bagian daguku rontok dan bagian mulut jadi retak-retak.
Sahabatku tertawa terbahak-bahak, “Santai, Meta sayang…. Kalau lagi pakai masker, jangan banyak gerak. Jangan bicara! Tuh lihat, rontokkan maskernya…” katanya sok ramah tamah dan bersahaja sambil menambal maskerku yang rontok dan pecah dengan adonan masker yang baru yang masih basah.
Huh, geram aku dibuatnya. Dia yang memaksa aku untuk membuka mulut, sekarang dia juga yang menasehati untuk tak banyak gerak. Namun, aku bisa buat apa? Akhirnya aku diam dan mendendam, berencana selepas masker ini dibuka, kujitak kepalanya.
Akhirnya dia memakaikan masker diwajahnya secara merata, kemudian buru-buru tidur di sampingku. Suasana hening. Aku menutup mata (kurasa dia juga). Di pelupuk mata nan sendu, lewatlah kembali masalah-masalah yang selama ini menghimpitku. Terbayang olehku segala keluh kesah  yang akhir-akhir ini seolah tak mau jauh dariku. Semakin lama, bayangan hitam itu semakin menyelimuti fikiranku. Hingga akhirnya, bayangan buruk itu pecah berkeping-keping karena terdengar suara sahabatku di sebelah, “Emmmm… mmmmm….. aaammmm…..” gumamnya yang tentu saja tak aku mengerti.
“Mmm… mmmm… … mmmm..mmmmm” balasku dengan maksud, “aku tidak mengerti apa maksudmu.
“Emmm…. Mmmmm….. mmmmm” katanya lagi membuatku semakin bingung…..
“Mmmm, emmmm, mmmm, mmmmmm” kataku lagi.
Dia tak jera, sepertinya ada sesuatu yang penting yang mau ia sampaikan. Tapi, bagaimana caranya aku bisa mengerti akan maksudnya jika dia hanya bergumam tak jelas seperti itu?
Akhirnya, dalam ketidakmengertianku itu, kubalas kata-katanya yang tak jelas itu dengan bergumam, “emmm…em…eeeemmmm..mmmm.mmm..eeee…” lengkap dengan nada lagu “Sheila ki Jawani”-nya Katrina Kaif dengan tangan naik-turun seperti Briptu Norman meniru gaya Caiyya-caiyya khas Shakhrukh Khan.
Kupugang kedua rahangku erat-erat agar bisa menahan tawa, sambil memelihara masker Cinta Laura dan Dewi Sandra agak tak rontok atau berkerut. Kulihat dari sudut mata, sahabatku dengan paksa memegang perutnya dengan bahu naik-turun kesusahan menahan ledakan tawa.
Beberapa saat kami berhasil mempertahankan masker tetap meregang wajah kami dengan terus berharap setelah membasuh muka nanti wajah kami disulap oleh tongkat ajaib milih ibu peri jadi se-kinclong dua artis yang kusebut tadi. Atau paling tidak beda-beda tipis tak masalah, ha ha ha.
Tapi, entah apa yang terlintas di fikiran sahabatku, tiba-tiba saja dia kembali berguman “ehmm… emm…” meniru lagu jadul Kuch-kuch Hota hai.
Kembang kempis bahuku akibat menahan tawa, tapi sahabatku semakin menggila. Dia berdiri dan menari-nari india dengan rambut tergerai dan wajah aduhai, persis seperti Kuntilanak.
“Ha.. ha.. ha…” akhirnya aku kalah. Tak kuasa aku menahan tawa. Bicara sedikit saja membuat masker di daguku rontok, apalagi tertawa selepas itu. Masker di bagian hidung dan dahiku berkerut, selebihnya berguguran.
Sahabatku? Ah, usah ditanya! Dia jauh lebih lepas daripada aku tertawa. Apalagi melihat maskerku berantakan, semakin terbahak-bahak dia.
Dengan langkah tertatih-tatih, aku langsung ke kamar mandi mencuci muka. Sahabatku menguntit juga dari belakang. Setelah muka kami keringkan, dengan hati deg-deg-an kami menuju kaca. Dengan seluruh kerendahan hati kami berharap semoga dalam kaca kami melihat dua orang Cinderela yang satu bernama Cinta Laura dan yang satu lagi dipanggil Dewi Sandra.
Dan akhirnya……..
“Oh, tidak! Mengapa aku mirip nenek tua?” jeritku tak percaya.
“Kenapa jadi keriput begini?” tanya sahabatku.
Huuuffff….. aku segera melemparnya dengan guling. Tentu saja ini karena kami banyak gerak dan tertawa-tawa tadinya. Dan sekarang jangankan Cinta Laura dan Dewi Sandra, bisa mirip Mpok Atik pun sudah syukur daripada mirip Mpok Nori? (Lho, cantikan Mpok Nori apa Mpok Atik ya?)
“Huh… Masker, oh, masker…. Menyesal kami memakaimu!” kataku sambil melempar sisa masker yang masih ada dalam bungkusnya ke tong sampah.***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hoho, lucu kali curhatmu, kawan!

 
Williya Meta © 2010 | Blog Dirancang Oleh www.pandani.co.cc | web Design 07 Juni 2011